Selasa, 23 Februari 2010

DELINIASI KAWASAN HUTAN


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam perencanaan pemanenan hasil hutan dan pembukaan wilayah hutan terdapat areal atau tempat-tempat yang perlu dilindungi agar kerusakan yang disebabkan oleh kegiatan pemanenan hasil hutan dan pembukaan wilayah hutan dapat diminimalkan (Muhdi, 2002).
Berdasarkan buku Pedoman Penyusunan Dokumen AMDAL Bidang Kehutanan yang diterbitkan oleh Pusat Standardisasi dan Lingkungan Dephut, jenis kawasan lindung yang mungkin berada di areal konsesi Unit Manajemen atau berbatasan langsung dengannya antara lain:
1. Hutan Lindung;
2. Kawasan hutan: dengan skoring faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah dan curah hujan > 175 (SK Mentan No. 837/Kpts/Um/11/1980); dengan lereng lapangan > 40%; dengan ketinggian > 2.000 m; dan dengan lereng lapangan > 15% untuk jenis tanah sangat peka erosi (regosol, litosol, organosol dan renzina);
3. Kawasan bergambut di hulu sungai dan rawa (tebal > 3 m);
4. Kawasan resapan air;
5. Sempadan pantai (100 m dari titik pasang tertinggi ke arah darat);
6. Sempadan sungai: sungai kecil (lebar < 30 m) lebar sempadan 50 M; sungai besar (lebar > 30 m) lebar sempadan 100 m;
7. Kawasan sekitar danau/waduk dengan lebar sempadan 100 m;
8. Kawasan sekitar mata air dengan radius 200 m;
9. Kawasan Suaka Alam (cagar alam dan suaka margasatwa);
10. Kawasan Pelestarian Alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam);
11. Buffer zone hutan lindung, lebar 500 m (telah ditata batas) atau 1.000 m (belum ditata batas);
12. Buffer zone Kawasan Suaka Alam/Kawasan Pelestarian Alam, lebar 500 m (telah ditata batas) atau 1.000 m (belum ditata batas);
13. Kawasan Pelestarian Plasma Nutfah (KPPN);
14. Kawasan pengungsian/perlindungan satwa liar;
15. Kawasan pantai berhutan mangrove: lebar 50 m dari tepi hutan menghadap ke arah pantai; lebar 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan yang diukur dari garis surut terendah dan titik pasang tertinggi; lebar 10 m dari tepi hutan menghadap ke arah sungai;
16. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan: Daerah Karst (kering dan berair); daerah dengan budaya masyarakat istimewa; dan kawasan lokasi situs purbakala/peninggalan sejarah bernilai tinggi;
17. Kawasan rawan bencana alam; dan
18. Hutan produksi alam yang masih tetap dipertahankan keberadaannya dalam areal kerja.
Pemahaman terhadap jenis-jenis kawasan lindung ini akan membantu Unit Manajemen untuk mengambil tindakan pengelolaan yang diperlukan. Tindakan pengelolaan kawasan lindung diarahkan untuk menjamin kelestarian fungsi ekologi, yaitu terjaminnya fungsi hutan sebagai sistem penyangga kehidupan berbagai spesies asli dan ekosistem di dalam Unit Manajemen

Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum yang berjudul Deliniasi Kawasan Lindung adalah:

  1. Untuk mengetahui dan menentukan daerah yang dilindungi.

  2. Untuk mengetahui luas areal kawasan yang dilindungi.

  3. Untuk mengetahui luas total areal produksi.









TINJAUAN PUSTAKA

Dalam suatu rencana pemenenan kayu diperlukan suatu formulasi rencana. Salah satu formulasi dari perencanaan tersebut adalah pendelinasian batas areal yang cocok untuk suatu metode. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memilah-milah areal hutan yang aman untuk dipanen kedalam satuan-satuan yang lebih kecil yang dirincikan dengan metode pemanenan silvikultur yang dianut. Pada suatu areal akan terdapat variasi pembagian suatu areal sebagai berikut:

  1. Sistem mekanis dengan traktor, sistem silvikultur tebang pilih

  2. Sistem mekanis dengan kabel, sistem silvikultur tebang pilih

  3. Sistem mekanis dengan traktor, sistem silvikultur tebang habis

  4. Sistem mekanis dengan kabel, sistem silvikultur tebang habis

  5. Sistem manual, sistem silvikultur tebang pilih

  6. Sistem manual, sistem silvikultur tebang habis, dan lain-lain
(Muhdi, 2006).
Untuk meminimalkan pembukaan kawasan hutan dapat dilakukan dengan menetapkan areal/kawasan lindung, yang merupakan kawasan yang tidak boleh dipanen kayunya dan tidak boleh diganggu dalam melaksanakan kegiatan pemanenan kayu dan harus dihindari dalam pembangunan prasarana pengembangan wilayah, seperti kawasan kanan-kiri sungai, kawasan berbatu-batu atau daerah yang dianggap keramat, kawasan di tepi danau atau mata air dan jurang serta kawasan tebing curam (Muhdi,2002).
Berdasarkan ketentuan penebangan dalam Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) dinyatakan bahwa ada salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pemanenan hutan, yakni semua pohon yang berjarak (radius) 50 m dari sumber mata air, saka alam atau suaka margasatwa, jalur vegetasi sepanjang jalan raya/ provinsi, pohon pada jarak 100 m dari daerah yang mengandung nilai estetika dan semua pohon pada jarak 200 m dari tepi sungai atau pantai (Departemen Kehutanan, 1993).
Proses hidrologi yang terjadi di suatu Daerah Aliran Sungai berkaitan dengan terjadinya erosi, transpor sedimen, dan deposisi sedimen di bagian hilir. Perubahan tata guna lahan dan praktek pengelolaan DAS juga akan mempengaruhi terjadinya erosi dan sedimentasi (Surgawan, 2004).
Penetapan Kawasan Hutan adalah suatu bukti bahwa kawasan tidak di bebani hak, seperti tercantum dalam UUK. Hal ini yang menjamin bahwa tidak adanya tumpang tindih penguasaan atas kawasan hutan atau dapat dikatakan pula sebagai kawasan hutan tetap. Penetapan Kawasan Hutan dilakukan melalui proses pengukuhan yang meliputi, penunjukkan kawasan hutan (oleh Menteri), penatabatasan kawasan hutan (oleh pemda bersama-sama dengan masyarakat) serta penetapan kawasan hutan jika penataan batas telah mencapai temu gelang (oleh Menteri). Ini semua diatur dalam berbagai peraturan perundangan bidang kehutanan antara lain UUK, PP 44/2004 tentangg Perencanaan Hutan, SK Menhut no 32/2001 dan SK Menhut 70/2001 serta kebijakan lain yang berkaitan dengan keberadaan Panitia Tata Batas (masyarakat, BPN instansi terkait sebagai anggotanya). Demikian pula sejalan dengan salah satu kebijakan prioritas departemen Kehutanan yaitu pemantapan kawasan hutan (mempercepat proses penetapan kawasan hutan). Penetapan kawasan hutan diikuti dengan penataan batas areal kerja Unit Manajemen (UM). Hal ini untuk menjamin dikeluarkannya lahan lahan yang tidak produktif dan masih adanya klaim masyarakat dari wilayah kerja Usaha Manajemen Kehutanan, dan berkaitan dengan perhitungan jatah tebang tahunan suatu unit manajemen (Anonim, 2009).
Tujuan penegasan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana batas spasial suatu status hukum, mulai dari kepemilikan, hak guna, batas peruntukan dalam tata ruang, tanggung jawab pemerintahan, perpajakan, hingga untuk menentukan luas area guna menghitung potensi sumber daya, kepadatan penduduk hingga dana perimbangan daerah. Pekerjaan ini mencakup:

  1. penetapan batas dari aspek yuridis;

  2. pengukuran koordinat batas di lapangan;

  3. pemetaan kawasan perbatasan di atas peta ataupun di atas basis data digital.
Fakta saat ini, penegasan batas wilayah masih jauh dari memadai. Salah satu kendala yang dihadapi adalah teknologi. Pada tulisan ini akan dikupas berbagai jenis teknologi dalam penegasan batas wilayah, baik dari segi penetapan, pengukuran maupun pemetaan (Amhar, dkk, 2001).
METODOLOGI


Waktu dan Tempat
Adapun Praktikum Pemanenan Hasil Hutan yang berjudul “Deliniasi Kawasan Lindung” ini dilaksanakan pada hari Rabu, 16 September 2009, pukul 10.00 WIB sampai dengan selesai di ruangan ruang 202 Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan.
Bahan dan Alat
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum adalah sebagai berikut :

  1. Peta kontur dengan skala 1:10.000 sebagai peta yang akan ditentukan delinasi kawasan lindungnya.

  2. Buku data sebagai tempat mencatat data.
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum adalah sebagai berikut :

  1. Penggaris, untuk mengukur jarak dan menghubungkan titik satu dengan titik lainnya

  2. Alat tulis/pensil, untuk membuat garis dan mencatat data

  3. Penghapus, untuk menghapus data yang salah

  4. Pena warna, untuk memperjelas sungai dan batas kanan-kiri sungai

  5. Kalkulator, untuk alat penghitung.
Prosedur
1. Dibuat delinasi areal kawasan lindung berdasarkan ketentuan sebagai berikut:

  • Daerah radius 200 m dari tepi sungai atau kawasan lindung, mata air 12 ha, minimal 100 m dari tepi danau atau pantai laut yang diukur dari pasang tertinggi ke arah darat minimal 100 m dari kanan kiri sungai besar dan 50 m kanan kiri anak sungai yang berada di luar pemukiman dan dimulai dari sungai ordo 3.

  • Jurang dan tebing curam

  • Lokasi yang ditetapkan sebagai areal konservasi dan penelitian

  • Jarak 500 m dari batas persekutuan dan jarak 1.000 m dari batas luar areal hutan yang belum dikukuhkan.
2. Ditentukan areal kawasan fungsi hutan yang telah diketahui pada saat menentukan klasifikasi kemiringan lapangan.
Dengan ketentuan nilai kelas dikalikan dengan curah hujan, kesuburan tanah dan kemiringan lapangan
Kriteria peubah untuk menentukan hutan produksi/ lindung:
1. Kemiringan lapangan bobot 20
2. Intensitas curah hujan bobot 10
3. Jenis tanah bobot 15
Jika ketiga peubah dari perhitungan:
1. Maksimum 125 (< 125), termasuk hutan produksi
2. Skor 125 – 175, termasuk hutan produksi terbatas
3. Skor > 175, termasuk hutan lindung
3. Ditentukan luasan sungai dengan menentukan ordonya terlebih dahulu.
4. Ordo yang telah diketahui datanya dimasukkan dalam tabel seperti berikut.
Tabel 1. tabel contoh luasan sungai
Ordo
Panjang Ordo (cm)
Panjang Ordo (m)
Luas (m3)
Luas (ha)
Luas (%)
I





II





III





IV





Total






hulu Ketentuan:
(Ordo + Ordo)
1 + 1 = 2
2 + 2 = 2
2 + 3 = 3



hilir
HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil
Adapun hasil dari praktikum yang berjudul Deliniasi Kawasan Lindung adalah:
Tabel 2. Luasan ordo sungai
Ordo
Panjang Ordo (cm)
Panjang Ordo (m)
Luas (m3)
Luas (ha)
Luas (%)
I
110,8
11080
221600
22,16
28,18
II
101,9
10190
305700
30,57
38,88
III
20,4
2040
81600
8,16
10,37
IV
25,5
3550
177500
17,75
22,57
Total
268,6
26800
786400
78,64
100

Pembahasan
Berdasarkan data yang telah didapat sebelumnya kawasan hutan Sumalindo termasuk dalam kawasan hutan produksi yang sebagian besar merupakan hutan produksi terbatas. Kawasan hutan ini bukan merupakan kawasan hutan lindung, karena sedikitpun areal hutan tersebut tidak masuk dalam kategori hutan lindung. Kawasan ini memiliki sungai yang cukup panjang dan luas yakni mencapai 78,64 ha atau sekitar 3,85 % dari luasan hutan.
Dalam prinsip pemanenan hutan dinyatakan bahwa untuk mengambil hasil dari alam perlu memperhatikan berbagai faktor salah satunya adalah faktor ekologi dengan berbagai sistem pemanenan yang dianggap praktis dan layak digunakan. Hal ini sesuai dengan literatur Muhdi (2006) yang menyatakan bahwa dalam suatu rencana pemenenan kayu diperlukan suatu formulasi rencana. Salah satu formulasi dari perencanaan tersebut adalah pendelinasian batas areal yang cocok untuk suatu metode. Kegiatan ini dimaksudkan untuk memilah-milah areal hutan yang aman untuk dipanen kedalam satuan-satuan yang lebih kecil yang dirincikan dengan metode pemanenan silvikultur yang dianut.
Pemanenan di hutan Sumalindo haruslah memperhatikan prinsip pembukaan kawasan hutan yang benar, karena berdasarkan data yang didapat hutan Sumalindo memiliki kawasan sungai yang dalam prinsipnya harus diperhatikan jika melakukan pemanenan. Hal ini sesuai dengan literatur Muhdi (2002) yang menyatakan bahwa untuk meminimalkan pembukaan kawasan hutan dapat dilakukan dengan menetapkan areal/kawasan lindung, yang merupakan kawasan yang tidak boleh dipanen kayunya dan tidak boleh diganggu dalam melaksanakan kegiatan pemanenan kayu dan harus dihindari dalam pembangunan prasarana pengembangan wilayah, seperti kawasan kanan-kiri sungai, kawasan berbatu-batu atau daerah yang dianggap keramat, kawasan di tepi danau atau mata air dan jurang serta kawasan tebing curam. Hal senada juga dinyatakan dalam literatur Departemen Kehutanan (1993) yang menyatakan bahwa pohon pada jarak 100 m dari daerah yang mengandung nilai estetika dan semua pohon pada jarak 200 m dari tepi sungai atau pantai.
Penetapan batas di lapangan baik itu kawasan berdasarkan fungsinya maupun batasan pemanenan adalah beberapa hal yang tidak boleh dipandang sebelah mata karena dua hal ini akan menentukan keberhasilah suatu tindakan pemanenan karena akan menentukan status kawasan tersebut. Hal ini sesuai dengan literatur Amhar (2001) yang menyatakan bahwa Tujuan penegasan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana batas spasial suatu status hukum, mulai dari kepemilikan, hak guna, batas peruntukan dalam tata ruang, tanggung jawab pemerintahan, perpajakan, hingga untuk menentukan luas area guna menghitung potensi sumber daya, kepadatan penduduk hingga dana perimbangan daerah. Pekerjaan ini mencakup penetapan batas dari aspek yuridis, pengukuran koordinat batas di lapangan, pemetaan kawasan perbatasan di atas peta ataupun di atas basis data digital. Fakta saat ini, penegasan batas wilayah masih jauh dari memadai. Salah satu kendala yang dihadapi adalah teknologi. Pada tulisan ini akan dikupas berbagai jenis teknologi dalam penegasan batas wilayah, baik dari segi penetapan, pengukuran maupun pemetaan. Hal ini juga sesuai dengan literatur Anonim (2009) yang menyatakan salah satu kebijakan prioritas departemen Kehutanan yaitu pemantapan kawasan hutan. Penetapan kawasan hutan diikuti dengan penataan batas areal kerja Unit Manajemen (UM). Hal ini untuk menjamin dikeluarkannya lahan lahan yang tidak produktif dan masih adanya klaim masyarakat dari wilayah kerja Usaha Manajemen Kehutanan.
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

    1. Hutan Sumalindo merupakan kawasan hutan produksi yang sebagian besar juga tergolong dalam hutan produksi terbatas dengan luas total produksi sebesar 2.044, 76 ha (berdasarkan laporan klasifikasi kemiringan lapangan).

    2. Kawasan Hutan Sumalindo memiliki daerah yang dilindungi berupa sungai yang cukup panjang dan luas yakni mencapai 78,64 ha atau sekitar 3,85 % dari luasan hutan.

    3. Dalam pemanenan hutan hal yang perlu diperhatikan bukanlah nilai ekonomi tetapi juga menyangkut kepada nilai ekologinya.

Saran
Walaupun hutan Sumalindo tergolong dalam hutan produksi dan produksi terbatas, hendaknya beberapa areal dianggap sebagai kawasan lindung walaupun tidak memenuhi kriteria.
Hendaknya mahasiswa menganggap pekerjaan ini sebagai proyek bagi dirinya sendiri sehingga serius dalam menghitung data dan menganalisa kawasan yang dilindungi.













DAFTAR PUSTAKA

Amhar F., Tri P., Anas K. 2001. Aspek-aspek Pemetaan Batas Wilayah Sebuah Tinjauan Komprehensif. Geo-Informatika. Jakarta (Jurnal)
Anonim. 2009. Usaha Sistematis Penurunan Kriteria Legalitas Kayu- Meminggirkan Aspek Sosial. http://rullysyumanda.org [29 September 2009] [17.56 WIB].
Departemen Kehutanan. 1993. Pedoman dan Petujuk Teknis Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Dirjen Pengusahaan Hutan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia Jakarta.
Departemen Kehutanan. . Standarisasi dan Lingkungan Kehutanan. http://www.dephut.go.id [24 September 2009] [17.05].
Muhdi. 2002. Penuntun Praktikum Pemanenan Hutan. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.
Muhdi. 2006. Pemanenan Hasil Hutan (Buku Ajar). Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.
Surgawan, I. K. F. 2004. Analisa Tingkat Kekritisan Daerah Aliran Sungai. Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar