Senin, 16 November 2009

Penentuan kualitas perekat

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Kayu dengan diameter diatas 60 cm, pada saat ini termasuk dalam kategori langka. Inilah yang menjadi latar belakang bagi para peneliti dan mahasiswa yang bergerak dibidang kehutanan mengeluarkan ide baru untuk mencetuskan alternatif agar manusia tetap dapat mempergunakan kayu. Untuk itu pemanfaatan kayu diharapkan optimal dengan memanfaatkan kulit, cabang, ranting, sortimen kecil bahkan serbuk. Untuk membuat suatu produk yang terlihat seperti kayu solid maka diperlukanlah upaya menyatukan bagian tersebut yang dikenal dengan perekatan.

Perekat merupakan salah satu faktor yang mempunyai keberhasilan dalam pembuatan papan partikel. Pemilihan jenis dan banyaknya perekat yang dibutuhkan sangat penting untuk diperhatikan. Suatu bahan perekat tergantung pada jenis papan partikel yang akan dibuat (Dumanauw, 1993).

Beberapa istilah lain dari perekat yang memiliki kekhususan meliputi glue, mucilage, pasta, dan cement. Glue merupakan perekat yang terbuat dari protein hewani, seperti kulit, kuku, urat, otot dan tulang yang secara luas digunakan dalam industri pengerjaan kayu. Mucilage merupakan perekat yang dipersiapkan dari getah dan air dan diperuntukkan terutama untuk merekat kertas. Paste merupakan perekat pati (strach) yang dibuat melalui pemanasan campuran pati dan air dan dipertahankan berbentuk pasta. Cement merupakan istilah yang digunakan untuk perekat yang bahan dasarnya karet dan mengeras melalui pelepasan pelarut (Santoso, 2004).

Komposisi perekat meliputi; base/ binder yaitu substan yang menjadi tulang punggung dari perekat film dan karakteristik adhesi dan perekat cair, digunakan bagi nama perekat. Contoh phenol formaldehide (PF) untuk kayu lapis. Solvent/ larutan, yaitu cairan yang diperlukan untuk melarutkan sistem cair dari semua komponen untuk aplikasi sirekat. Dipakai sampai tingkat kekentalan tertentu, selain bahan tambahan tersebut diatas ada juga thinners, catalist, filler, ekstender, fortifiers serta carier (Tsoumis, 1991).

Berdasarkan unsur kimia utama perekat dibagi menjadi dua kategori yaitu perekat alami yang berasal dari tumbuhan dan hewan serta sintetis. Perekat yang berasal dari tumbuhan berupa pati dan turunannya serta dapat berupa getah-getahan yang dikeluarkan oleh tumbuhan tersebut yang berupa albumin dan material lain. Perekat sintetis meliputi termoplastik resin dan termotesting resin (Anonim, 2006).

Polyvinyl asetat diperoleh dari polimerisasi vinyl asetat dengan cara polimerisasi massa, polimerisasi larutan, maupun polimerisasi emulsi. reaksinya dimulai dikontrol dengan penggunaan radikal bebas atau katalis ionik, sedangkan untuk tujuan percobaan dapat digunakan dengan metoda katalis, termasuk katalis redox atau aktivasi dengan cahaya. secara garis besar reaksinya ada tiga tahap, yaitu permulaan, pertumbuhan polimer dan terminasi. pada tahap awal dimulai dengan adanya radikal bebas dari peroksida seperti benzoil, lauroil, hidrogen peroksida, serta initator lainnya seperti persulfat. tahap kedua yaitu polimerisasi berlangsung terus dengan adanya gugus aktif di ujung molekul polimer tersebut. pada tahap terminasi terjadi apabila radikal bebas satu bertemu dengan radikal bebas lainnya (Ruhedi dan Hadi, 1997).

Isosianat adalah perekat yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi daripada perekat lainnya. Isosianat bereaksi bukan hanya dengan aquarous tetapi juga dengan kayu yang menghasilkan ikatan kimia yang kuat sekali (chemical bonding). Isosianat juga memiliki gugus kimia yang sangat reaktif, yaitu R-N=C=O. Keunikan perekat isosianat adalah dapat digunakan pada variasi suhu yang luas, tahan air, panas, cepat kering, Ph netral dan kedap terhadap solvent (pelarut organik). Perekat ini juga memiliki daya guna yang luas untuk merekatkan berbagai macam kayu ke kayu (Anonim, 2001).


B. Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum yang berjudul Penentuan Kualitas Perekat yaitu untuk mengetahui kualitas suatu perekat dengan cara menentukan berat jenis perekat, menentukan ph perekat, menentukan kadar padatan yang tidak menguap, penentuan gelating time (waktu gelatinisasi).



TINJAUAN PUSTAKA


Perekat kayu merupakan campuran dari beberapa komponen yang secara kimia aktif bersifat interen dan bervariasi dalam proporsi terhadap perekat dasar. fungsi formulasi perekat adalah untuk mengetahui mutu dan kualitas campuran untuk membantu proses penyiapan perekat campuran. Ada beberapa hal yang bisa dilihat dari dari kulitas perekat campuran adalah kemurnian dasar dari base, tingkat ekstensi (kadar jumlah ekstender yang diberikan terhadap resin, karena makin tinggi ekstensi makin rendah kualitasnya) dan resin solid perekat campuran. Selain hal tersebut, ada empat hal yang juga berkaitan dengan karakteristik perekat, yakni proses pematangan (hardening mechanism), percepatan pematangan (speed of solidification), tahap pematangan (stage of solidification) dqan sifat-sifat solid atau solid properties (Rinawati, 2005).

Polivinyl asetat merupakan termoplastik resin, yang artinya resin dapat kembali menjadi lunak ketika dipanaskan dan mengeras kembali ketika didinginkan. Adapun kelebihan dari polivynil asetat adalah mudah penggunaannya, storage lifenya tidak terbatas, tahan terhadap mikroorganisme, tidak mengakibatkan bercak noda pada kayu, mempunyai gap-filling hampir sama dengan perekat hewani serta tekanan kempanya rendah. Selain kelebihan, ada juga kekurangan dari perekat jenis ini yaitu sangat sensitif terhadap air, sehingga penggunaannya hanya untuk interior saja, kekuatannya menurun cepat dengan adanya panas dan air serta sifat viscositasnya tidak baik, sehingga creep(retakan) besar dan ketahanan terhadap fatigue rendah (Ruhedi, 2007).

Dalam penentuan kualitas suatu perekat ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yakni derajat keasaman, kekentalan, berat jenis, kadar padatan dan waktu gelatinisasi. Nilai ph yang tinggi suatu perekat akan mewmperpanjang waktu simpan namun akan memperlambat proses curring. Selain kesesuaian antara perekat dengan kayu harus disesuaikan derajat keasamannya. Karena pada kondisi asam kayu akan lebih cepat rusak (Satuhu, 1987).

Viscositas atau dalam istilah bahasa indonesia dikenal dengan kekentalan merupakan salah satu sifat yang penting dalam perekatan. Kekentalan menunjukan kemampuan perekat untuk merngalir pada permukaan yang direkat. Semakin tinggi kekentalan, maka kemampuan untuk membasahi atau berpenetrasi kedalam void permukaan direkat akan semakin sulit. Namun, jika kekentalan terlalu rendah, maka akan terjadi penetrasi perekat kedalam permukaan void sirekat yang berlebihan dan menyebabkan miskinnya garis rekat yang terbentuk (Ruhedi, 1997).

Berat jenis perekat berkaitan dengan komponen yang terkandung di dalam perekat. Berat jenis akan bertambah jika ada peningkatan rasio penggunaan formalin dengan perekat. Selain berat jenis perekat, kadar padatan jugsa merupakan saslah satu parameter pengukur kualitas suatu perekat. Kadar padatan menunjukan jumlah molekul perekat yang akan berikatan dengan molekul sirekat. Semakin tinggi kadar padatan tertentu, maka keteguhan rekat papan yang dihasilkan semakin meningkat karena semakin banyak molekul penyusun perekat yang bereaksi dengan kayu saat perekatan. Selain empat parameter diatas waktu gelatinisasi juga menentukan kualitas. Waktu gelatinisasi menunjukan waktu yang dibutuhkan perekat untuk mengental atau menjadi gel, sehingga tidak dapat ditambahkan lagi dengan bahan lain dan siap untuk direkatkan (Rowell, 2005).

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penggunaan perekat PVAc meliputi komponen-komponen perekat (substrate) permukaan bahan yang direkat, viskositas, masa tunggu, kondisi pemakaian, kondisi penyimpanan dan harga. Perekat PVAc ini mempunyai sifat termoplastik yang penting untuk menjaga tekanan kempa selama pembentukan ikatan sampai ikatan rekat mempunyai kekuatan yang memadai. Penggunaan khusus PVAc dipakai pada pembuatan kayu lapis dan papan blok, karena perekat ini mampu meningkatkan kekuatan rekat secara ekstrim dan cepat. Tingkat polimerisasi ini sangat berpengaruh terhadap sifat PVAcnya dimana berat molekul yang tinggi memberikan kekentalan yang tinggi pula (Vick, 1999).

Mekanisme dari aksi bersikunci perekat terjadi ketika permukaan substrat (tempat dimana perekat dilaburkan), poros (sarang), perekat dapat mengalir ke dalamnya dan mulai mengeras, sehingga berfungsi sebagai jangkar perekatan. Namun kemampuan perekat untuk memasuki sirekat dan kekuatan perekat tidak cukup dalam (Packham, 2003).


METODOLOGI PRAKTIKUM


A. Waktu dan Tempat

Praktikum Perekat dan Perekatan yang berjudul Penentuan Kualitas Perekat diadakan pada hari Kamis 4 September 2009 pukul 14.00 WIB sampai dengan pukul 16.30 WIB di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Departrmen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.


B. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah:

  1. Picnometer sebagai wadah pada saat pengujian berat jenis

  2. Cawan sebagai wadah pada saat pengujian kandungan padatan yang tidak menguap

  3. Oven sebagai alat pemanas atau penguap perekat

  4. Tabung reaksi sebagai wadah pada saat pengujian gelating time dan penentuan ph perekat

  5. Timbangan elektrik sebagai penimbang massa perekat

  6. Kertas lakmus sebagai sebagai alat yang menentukan keasaman perekat

  7. Pengaduk kaca sebagai pengaduk larutan.

Bahan yang digunaklan dalam praktikum ini adalah:

  1. Polivinyl asetat sebagai bahan yang akan diuji

  2. Isosianat sebagai bahan yang akan diuji

  3. Air sebagai tambahan terhadap bahan pada waktu gelatinisasi dan sebagai pembabtu pemanasan saat pengujian kadar padatan yang tidak menguap


C. Prosedur

C.1 Berat Jenis Perekat:

1. ditimbang picnometer kosong (w1) masukkan air ke dalam picnometer sampai batas tera, lalu tutup jangan sampai ada gelembung udara didalamnya, bersih dan keringkan picnometer, kemudian timbang didapat w2, yaitu air.

2. dimasukkan contoh uji perekat kedalam picnometer sampai batas tera jangan sampai ada gelembung udara dfan keringkan (w3).

3. dihitung berat jenis :

BJ = (w3 – w1)/ w2- w1


C.2 Penentuan Ph Perekat

1. ditentukan kertas ph yang akan digunakan dengan trayek yang sesuai dengan ph perekat, kemudian masukkan 5-10cc, contoh uji kedalam gelas piala dan diaduk.

2. dimasukkan gelas piala kedalam penangas bersuhu 30 + 0.50 C.

3. dicelupkan kertas Ph kedalam larutan contoh selama 10 detik.

4. dibandingkan warna kertas dengan standar warna trayek ph dilakukan 3 kali ulangan.

Trayek Kertas Ph

Kode

Nama

Trayek Ph

Trayek Warna

BCG

Hijau Brom Kreosol

3.6-6.0

Kuning ke Biru

MR

Merah Metil

5.0-7.4

Merah ke Kuning

BTB

Biru Brom Timol

6.3-8.2

Kuning ke Biru

TB

Biru Timol

7.6-10.0

Kuning ke Biru

AZV

Kuning Alizanin

10.6-12.0

Kuning ke Merah

ALB

Biru Alkali

11.0-13.6

Biru ke Merah


C.3 Penentuan Kandungan Padatan yang Tidak Menguap

1. ditimbang cawan kosong (w1) ditimbang contoh sebanyak 1.5 gr dimasukkan kedalam cawan dan ditimbang (w2)

2. dimasukkan cawan yang berisi contoh kedalam oven dengan suhu 103+2 0C selama 3 jam.

3. dinginkan dalam desikator dan timbang (w3)

4. dihitung solid contetent (Kadar padatan)

Sc = = (w3 – w1)/ (w2- w1) x 100%




C.4 Penentuan Gelating Time (Waktu Gelatinisasi)

1. ditimbang + 10 gr contoh uji dan masukkan kedalam tabung reaksi dan tutup, penarikan diatas penangas air pada suhu 1000 C, permukaan contoh uji + 2cm dibawah permukaan air.

2. diamati warna yang dibutuhkan contoh uji dalam tabung tergelatin dengan cara memiringkan tabung reaksi (tabung reaksitidak mengalir lagi)


HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Hasil

I. Berat Jenis (BJ) Perekat

Jenis Perekat

W1

W2

W3

BJ

Isosianat

59,25

158,55

896,6

8,43

PVAc (Poly Vinyl Asetat)

34,55

83,90

521,3

9,86


II. Penentuan Ph Perekat


Ph

Trayek Ph


1

2

3

Nama

Kode

Trayek Ph

Isosianat

5

4

4

Hijau Brom Kreosol

BCG

Kuning ke Biru

PVAc (Poly Vinyl Asetat)

4

3

4

Hijau Brom Kreosol

BCG

Kuning ke Biru


III. Kandungan Padatan yang Tidak Menguap

Jenis Perekat

W1

W2

W3

Solid Content

Isosianat

14,10

15,60

15,60

100%

PVAc (Poly Vinyl Asetat)

13,80

15,30

14,50

46,7%


IV. Gelating Time (Waktu Gelatinasi)

Jenis Perekat

Gelating Time

Tanda-tanda

Isosianat

70 menit

- dari warna cokelat gelap ke cokelat terang

-mengental tidak sempurna

PVAc (Poly Vinyl Asetat)

58 menit

- warna tidak mengalami perubahan

-terdapat endapan perekat dan air naik


B. Pembahasan

Berdasarkan pelaksanaan praktikum didapat data bahwa berat jenis polivynil asetat lebih besar dibandingkan dengan isosianat. Ini berarti perekat polyvinyl memiliki rasio penggunaan formaldehid yang lebih banyak. Berdasarkan data tersebut polyvinyl asetat akan lebih awet jika digunakan dalam proses perekatan dibandingkan penggunaan isosianat. Hal ini sesuai dengan literatur Rowell (2005) yang menyatakan bahwa berat jenis perekat berkaitan dengan komponen yang terkandung di dalam perekat. Berat jenis akan bertambah jika ada peningkatan rasio penggunaan formalin dengan perekat.

Isosianat dan polivynil asetat memiliki trayek ph yang sama yaitu Hijau Brom Kreosol (BCG), hal ini menunjukan bahwa kedua perekat ini tergolong dalam derajat keasaman yang tinggi. Berdasarkan hasil ini didapat bahwa kedua perekat ini mampu memperpanjang waktu simpan namun hal tersebut akan memperlambat proses curring. Hal ini sesuai dengan literatur Satuhu (1987) yang menyatakan bahwa nilai ph yang tinggi suatu perekat akan mewmperpanjang waktu simpan namun akan memperlambat proses curring. Selain kesesuaian antara perekat dengan kayu harus disesuaikan derajat keasamannya. Karena pada kondisi asam kayu akan lebih cepat rusak.

Keteguhan rekat suatu proses perekatan akan lebih baik menggunakan isosianat dibanding polivynil asetat. Hal ini disebabkan nilai solid content isosianat 53,3% lebih tinggi dibandingkan polivinyl asetat. Hal ini sesuai dengan literatur Rowell (2005) yang menyatakan bahwa Semakin tinggi kadar padatan tertentu, maka keteguhan rekat papan yang dihasilkan semakin meningkat karena semakin banyak molekul penyusun perekat yang bereaksi dengan kayu saat perekatan. Selain empat parameter diatas waktu gelatinisasi juga menentukan kualitas. Waktu gelatinisasi menunjukan waktu yang dibutuhkan perekat untuk mengental atau menjadi gel, sehingga tidak dapat ditambahkan lagi dengan bahan lain dan siap untuk direkatkan.

Isosianat membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengental dibanding polivynil asetat ini dikartenakan pada awalnya polivynil asetat telah bebbentuk gel, lain halnya dengan isosianat yang awalnya berbentuk cairan. Isosianat membutuhkan waktu yang lama untuk mengental, pada saat menit ke-70 isosianat tidak mampu menental dengan sempurna, berbalik dengan polivynil asetat yang membentuk endapan pada menit ke-58, hal ini perlu diketahui untuk menentukan siap tidaknya perekat direkatkan. Hal ini sesuai dengan literatur Rowell (2005) yang menyatakan bahwa Waktu gelatinisasi menunjukan waktu yang dibutuhkan perekat untuk mengental atau menjadi gel, sehingga tidak dapat ditambahkan lagi dengan bahan lain dan siap untuk direkatkan.

Berdasarkan pengamatan pada saat pengujian gelatinisasi dan kadar padatan yang tidak menguap dapat disimpulkan bahwa PVAc dan isosianat tergolong dalam perekat termoplastik. Karena pada saat pengujian gelatinisasi kedua perekat ini mengalami perubahan ke arah yang lebih cair sedangkan pada saat percobaan kadar padatan yang tidak menguap kedua perekat ini mengeras. Hal ini sesuai dengan literatur Ruhedi (2007) yang menyatakan bahwa polivinyl asetat merupakan termoplastik resin, yang artinya resin dapat kembali menjadi lunak ketika dipanaskan dan mengeras kembali ketika didinginkan.

Isosianat memiliki masa tunggu pengeringan rekat lebih cepat dibanding PVAc hal ini dapat dilihat pada saat proses gelating time dan kandungan padatan yang tidak menguap. Hal ini menandakan kualitas yang berbeda pada tiap perekat. Hal ini sesuai dengan literatur Vick (1999) yang menyatakan bahwa faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penggunaan perekat PVAc meliputi komponen-komponen perekat (substrate) permukaan bahan yang direkat, viskositas, masa tunggu, kondisi pemakaian, kondisi penyimpanan dan harga. Perekat PVAc ini mempunyai sifat termoplastik yang penting untuk menjaga tekanan kempa selama pembentukan ikatan sampai ikatan rekat mempunyai kekuatan yang memadai. Penggunaan khusus PVAc dipakai pada pembuatan kayu lapis dan papan blok, karena perekat ini mampu meningkatkan kekuatan rekat secara ekstrim dan cepat.


KESIMPULAN DAN SARAN


A. Kesimpulan

1. Berat jenis yang diperoleh untuk PVAc dan isosianat diperoleh nilai yang berbeda, yakni PVAc lebih tinggi 1,43 BJnya dibanding dengan isosianat.

2. Isosianat dan PVAc tergolong dalam keadaan asam karena keduanya memiliki ph dibawah 7, dan tergolong dalam derajat keasaman yang tinggi.

3. Kandungan padatan yang tidak menguap untuk perekat isosianat sangat sempurna yaitu 100%, hal ini dikarenakan perekat yang sudah dikeluarkan dalam oven kontak lama dengan udara sebelum masuk kedalam desikator.

4. Dalam percobaan gelating time isosianat membutuhkan waktu 1 jam 10 menit 23 detik dan PVAc 58 menit 37 detik sampai terlihat perbedaan antara sebelum dan sesudah perlakuan.

5. Untuk menentukan pemakaian perekat yang cocok untuk digunakan ada hal yang perlu dipertimbangkan seperti penggunaan perekat terhadap objek untuk mengurangi kerugian yang timbul.


B. Saran

Pada saat pengovenan selama 3 jam pada uji padatan yang tidak menuap, perekat harus langsung dimasukkan kedalam desikator setelah dikeluarkan agar hasilnya benat dan tepat karena tidak terlalu lama kontak dengan udara. Pada saat penentuan ph perlu juga diperhatikan kertas lakmus dengan tepat sehingga derajat keasamannya tepat.



DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2001. Adhesion Theory. www.woodweb.com.

Anonim. 2006. Adhesion Theory. www.specialchem4adhesives.com.

Dumanaw, J. F. 1993. Mengenal Kayu. Kanisius. Semarang.

Packham, D. E. 2003. A Seventy Year Perspectives and Its Current Status. http://people.bath.ac.uk. [29 September 2009] [17.30 wib].

Ruhedi, S. dan Y.S. Hadi. 1997. Perekat dan Perekatan. Teknologi Hasil Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Ruhedi, S., Koroh D. S., Syahmani F., Yanti H., Nurhaida, Saad S., Sucipto T. 2007. Analisis Perekatan Kayu. Institut Peranian Bogor. Bogor.

Rinawati. 2002. Perekat Berbahan Dasar Lignin untuk Kayu Lapis Meranti. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rowell, R.M. 2005. Handbook of Wood Chemistry and Wood Composites. CRC Press. New York.

Santoso, A. 2004. Pemanfaatan Lignin dari Lindi Hitam untuk Pembuatan Kopolimer Lignin Resorsinol Formaldehida sebagai Perekat Lamina. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. Vol-22.

Satuhu, E. 1987. Keterbatasan dan Kekuatan Perekat Lima jenis Kayu Indonesia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Tsoumis, G. 19971. Science and Technology of Wood, Structure Properties, Utiliztion. Vand Hostrand Reinhold. New York.

Vick, C. B. 1999. Adhesive Bonding of Wood Material. Forest Product Technology. USDA Forest Service. Wisconsin.

wetabilitas

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan teknologi sudah demikian maju sehingga segala kelemahan bambu sudah dapat direkayasa dan diatasi mulai dari konstruksi, sambungan dengan berbagai jenis konektor serta bentuk, yang memungkinkan bambu dipakai pada panjang efektif sesuai dengan desain yang diinginkan tetapi memenuhi persyaratan teknis. Keterbatasan bambu untuk dipakai pada bangunan-bangunan khusus yang mempunyai tingkat kesulitan tinggi sudah dapat diatasi bahkan di beberapa negara maju, bambu sudah dipakai sebagai bahan untuk bangunan penting seperti villa, tribun stadion, kantor bertingkat, jembatan dengan bentang lebar ( Purwito, 2008 ).

Kurang lebih 1.000 species bambu dalam 80 genera, sekitar 200 species dari 20 genera ditemukan di Asia Tenggara (Dransfield & Widjaja, 1995), sedangkan di Indonesia ditemukan sekitar 60 jenis.

Beberapa kelebihan bambu jika dipergunakan untuk komponen bangunan:

1. Merupakan bahan yang dapat diperbarui (3-5 tahun sudah dapat ditebang),

2. Murah harganya serta mudah pengerjaannya karena tidak memerlukan tenaga terdidik, cukup dengan peralatan sederhana pada kegiatan pembangunan.

3. Mempunyai kekuatan tarik yang tinggi (beberapa jenis bambu melampaui kuat tarik baja mutu sedang), ringan, berbentuk pipa beruas sehingga cukup lentur untuk dimanfaatkan sebagai komponen bangunan rangka,

4. Rumah dari bambu cukup nyaman ditempati,

5. Masa konstruksi cukup singkat sehingga biaya konstruksi menjadi murah.

Kelemahannya adalah dalam penggunaannya kadang-kadang menemui beberapaketerbatasan. Sebagai bahan bangunan, faktor yang sangat mempengaruhi bambuadalah, sifat fisik bambu (bulat) yang agak menyulitkan dalam pengerjaannya secaramekanis, variasi dimensi dan panjang ruas yang tidak seragam serta mudah diserangoleh organisme perusak seperti bubuk, rayap dan jamur.


Penyambungan atau perangkaian pada bambu utuh biasanya dilakukan secara konvensional memakai paku dan pasak yang menyebabkan serat yang sejajar dengan kekuatan geser yang rendah menjadikan bambu mudah pecah, sedangkan dengan tali ataupun ijuk kekuatan sambungan hanya didasarkan pada kekuatan gesek antara tali dan ijuk dengan bambu atau antara bambu satu dengan bambu yang lainnya (Morisco, 1999: 6-7).

Bambu lamina adalah produk olahan bambu dengan cara merekatkan potongan-potongan dalam panjang tertentu menjadi beberapa lapis yang selanjutnya dijadikan papan atau bentuk tiang. Lapisannya umumnya 2-5 lapis. Banyaknya lapisan tergantung ketebalan yang diinginkan dan penggunaannya. Kualitas bambu lamina ini sangat ditentukan oleh bahan perekatnya. Dengan bahan perekat yang baik maka kekuatan bambu lamina dapat disejajarkan dengan kekuatan kayu kelas III.

Keuntungan adanya standar bambu menurut Purwito, 2008 adalah sebagai berikut:

a. Merangsang para perencana bangunan untuk menggunakan bambu karena,

mereka menjadi mengetahui sistem/cara penggunaannya sehingga mendukung

desain bangunannya.

b. Dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan kualitas konstruksi bambu

yang dalam kontrak pekerjaannya menggunakan bambu sebagai bahannya.

c. Dapat menjaga kualitas produk (quality control).

d. Menaikan nilai tambah bambu karena dapat disejajarkan dengan bahan lain yang sejenis.


Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui kemampuan bambu untuk dibasahi oleh suatu cairan.








TINJAUAN PUSTAKA


Di Indonesia, produk bambu lapis telah dibuat sejak tahun 1976, tetapi bentuknya tidak datar karena dalam pengempaannya menggunakan cetakan. Bambu lapis tersebut digunakan untuk bahan pembuatan baki. Bambu yang digunakan disayat secara manual dengan ketebalan vinir bambu 0.3 mm dan lebar 5 mm. Vinir bambu selanjutnya dianyam baik dikombinasi dengan vinir kayu atau tidak. Hasil anyaman tersebut kemudian dikeringkan dan digunakan sebagai bahan bambu lapis (4 lapis) dengan menggunakan perekat melamin urea formaldehida (Soedjono & Hartanto,1994).

Kolom bambu terdiri atas sekitar 50 % parenkim, 40 % serat da 10 % sel penghubung ( pembuluh dan sieve tubes). Parenkim dan sel penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam kolom, sedangkan serat lebih banyak ditemukan di bagian luar sedangkan susunan serat pada ruas penghubung antar buku memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas sementara parenkimnya berakurang (Widjaja,1995).

A

Gambar 1. Bambu Tali

spek bahan yang direkat (bambu) meliputi struktur dan anatomi bambu (susunan sel, arah serat), sifat fisika (kerapatan, kadar air, kembang susut dan porositas). Aspek perekat meliputi jenis, sifat dan kegunaan perekat. Aspek teknologi perekatan meliputi komposisi perekat, kondisi kerja (durasi, suhu, cara pelaksanaan)berat laburan, pengempaan(Prayitno,1996:13-46).


Bambu Tali

Taksonomi Bambu Tali sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)

Ordo : Liliales

Famili : Liliaceae (suku bawang-bawangan

Genus : Asparagus

Spesies : Asparagus cochinchinensis (Lour.) Merr




Bambu tali disebut Asparagus cochinchinensis. termasuk ke dalam famili tumbuhanLiliaceae. .Tumbuhan ini memiliki berbagai kandungan kimia, yang sudah diketahui, contohnya Saponin; aglycone, protosarsapogenin.
Senyawa lain; Asparagine, glukose, fruktose, 5-methoxy, methylfurfural, beta-sitosterol.

B

Gambar 2. Bambu Hitam

ambu Hitam

Taksonomi bambu hitam sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Poales
Famili :
Poaceae

Genus : Gigantochloa
Spesies :
Gigantochloa atroviolacea Widjaja

Bambu telah digunakan selama berabad-abad dalam pengobatan Ayurvedic dan obat-obatan herbal Cina. Tabasheer, bubuk dalam tabung bambu, digunakan secara internal untuk merawat asma, batuk dan dapat digunakan sebagai zat perangsang nafsu berahi. Di Cina, bahan dari akar bambu hitam membantu mengobati penyakit ginjal (bambu hitam ini susah dicari lho disini). Akar dan daunnya juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit kelamin dan kanker. Getahnya digunakan untuk mengurangi demam, dan abu/arangnya akan menyembuhkan biang keringat (Attayaya. 2009)

B

Gambar 3. Bambu Betung

ambu Betung

Taksonomi bambu betung sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil

Sub Kelas : Commelinidae

Ordo : Poales

Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)

Genus : Dendrocalamus

Spesies : Dendrocalamus asper Backer

Bambu betung (Dendrocalamus asper) adalah salah satu jenis yang mempunyai nilai potensi ekonomi. Tanaman ini dapat dijumpai tumbuh mulai dari daerah dataran rendah hingga dataran tinggi (2000 meter), dan akan tumbuh lebih baik bila ditanam di tanah subur pada lahan basah (Soedjono & Hartanto,1994).


Isosianat

Isosianat adalah perekat yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi daripada perekat lainnya. Isosianat bereaksi bukan hanya dengan aquarous tetapi juga dengan kayu yang menghasilkan ikatan kimia yang kuat sekali (chemical bonding). Isosianat juga memiliki gugus kimia yang sangat reaktif, yaitu R-N=C=O. Keunikan perekat isosianat adalah dapat digunakan pada variasi suhu yang luas, tahan air, panas, cepat kering, Ph netral dan kedap terhadap solvent (pelarut organik). Perekat ini juga memiliki daya guna yang luas untuk merekatkan berbagai macam kayu ke kayu (Widjaja,1995)


Air

Air adalah unsur alami semua bagian suatu pohon yang hidup. Dalam bagian xilem, air (lengas) umumnya berjumlah lebih dari separuh berat total artinya, berat air dalam kayu segar umumnya sama atau lebih besar daripada berat bahan kayu kering. Sejumlah air akan segera hilang apabila pohon mati atau suatu kayu glondongan diolah menjadi kayu gergajian, finir atau serpih kayu. Keadaan yang demikian bila berlangsung cukup lama, akan mempengaruhi dimensi dan sifat sifat kayu tersebut (Soedjono & Hartanto,1994).

Larutan NaOH

NaOH (Natrium Hidroksida) berwarna putih atau praktis putih, massa melebur, berbentuk pellet, serpihan atau batang atau bentuk lain. Sangat basa, keras, rapuh dan menunjukkan pecahan hablur. Bila dibiarkan di udara akan cepat menyerap karbondioksida dan lembab. Kelarutan mudah larut dalam air dan dalam etanol tetapi tidak larut dalam eter. Titik leleh 318°C serta titik didih 1390°C. Hidratnya mengandung 7; 5; 3,5; 3; 2 dan 1 molekul air. NaOH membentuk basa kuat bila dilarutkan dalam air, NaOH murni merupakan padatan berwarna putih, densitas NaOH adalah 2,1 . Senyawa ini sangat mudah terionisasi membentuk ion natrium dan hidroksida (Tanti, 2009).

Wetabilitas

Ukuran kemampuan kayu untuk dibasahi oleh suatu cairan (termasuk oleh perekat). Wetabilitas merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan mutu rekatan yang terjadi. Semakin mudah kayu dibasahi maka semakin mudah perekat mengadakan pembasahan dan menyebar keseluruh permukaan kayu. Namun bila terlalu mudah dibasahi mutu rekatan terjadi berkurang karena garis rekat yang terbentuk akan terlalu tipis, disamping bias mengakibatkan tidak meratanya perekat di atas permukaan kayu (Ruhendi, dkk. 1997).

Untuk memungkinkan terjadinya ikatan antara perekat dan perekat permukaan sirekat, perekat harus diaplikasikan lebih dalam bentuk cairan. Ukuran keterbasahan suatu permukaan adalah sudut kontak yang terbentuk antara cairan yang jatuh dalam permukaan yang datar dan halus (Ruhendi, 1997).

Keterbasahan kayu didapat dengan mengukur sudut kontak antara garis rekat cair dengan permukaan kayu adalah grafik cosinus antara kontak cairan dengan tegangan permukaan cairan untuk memperoleh tegangan permukaan setara dengan sudut kontak nol (cos θ = 1). Tegangan kritis permukaan terjadi pada saat sudut kontak dengan nilai nol menandakan tegangan permukaan bawah menyebar (Ruhendi, dkk, 1997).










METODE PRAKTIKUM


Waktu dan Tempat

Praktikum yang berjudul Wettabilitas ini dilaksanakan pada hari Jumat, 30 Oktober 2009, pada pukul 14.00-16.00 Wib, di laboraturium Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

Bahan dan Alat

Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah :

  1. Bambu Tali dengan ukuran 15 cm x 3 cm

  2. Bambu Betung dengan ukuran 15 cm x 3 cm

  3. Bambu Hitam dengan ukuran 15 cm x 3 cm

  4. NaOH 10 mg dilarutkan dalam 100 ml air

  5. Isosianat

  6. Aquadest

Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah :

  1. Pipet Tetes berfungsi untuk meneteskan cairan ke permukaan kayu.

  2. Kertas Pasir berfungsi untuk mengaluskan permukaan bambu.

  3. Kamera Digital berfungsi untuk memotret cairan.

  4. Busur berfungsi untuk mengukur sudut yang dibentuk antara permukaan dengan perekat.

  5. Alat tulis dan kalkulator berfungsi untuk mendukung pengolahan data.


Prosedur

Metode Sutrisno

  1. Teteskan larutan perekat sebanyak 1 tetes (± 0,05 ml) kepermukaan strain.

  2. Setelah perekat ditetesi dengan permukaan strain lalu dipotret setelah 30 detik.

  3. Penentuan sudut kontak dilakukan 3x ulangan untuk 3 jenis kayu dan hasil di rata-rata.


Metode Ruhendi

  1. Teteskan 0,05 ml larutan NaoH ke atas permukaan halus adheren dengan pipet tetes.

  2. Ukur sudut kontak yang di bentuk oleh garis lengkung cairan dengan permukaan adheren.

  3. Pengukuran sudut kontak dilakukan dengan mengukur besarnya sudut kontak yang diamati melalui hasil pemotretan kamera.

























HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Adapun hasil dari praktikum yang berjudul Wettabilitas adalah:

Resin/ Perekat

Ulangan

Sudut Luar(0)

Bambu Betung

Bambu Tali

Bambu Hitam

NaOH

1


2


3


Rata-rata

Nilai cos

120

129

112

120

115

120

119,33

0,49

145

160

180

180

180

160

170,83

0,99

100

110

115

114

109

110

109,67

0,96

Isosianat

1


2


3


Rata-rata

Nilai cos

145

110

100

105

105

107

112

0,46

100

106

125

116

106

109

110,83

0,64

90

90

105

117

103

104

101,5

0,57

Aquades

1


2


3


Rata-rata

Nilai cos

106

110

95

105

125

131

112

0,46

165

167

145

160

180

180

166,17

0,94

93

91

105

103

110

118

103,3

0,94






Pembahasan

Ketika sudut kontak antara perekat dan substrat lebih tinggi dari 900 dari sudut luar maka keberhasilan suatu cairan membasahi suatu padatan semakin baik. Berdasarkan data tersebut diatas maka bambu tali memiliki kemampuan wetabilitas yang baik dibanding dengan bambu hitam dan bambu betung disetiap perlakuan kecuali pada isosianat. Hal ini sesuai dengan literatur Ruhendi, dkk (2007) yang menyatakan bahwa Semakin mudah kayu dibasahi maka semakin mudah perekat mengadakan pembasahan dan menyebar keseluruh permukaan kayu. Namun bila terlalu mudah dibasahi mutu rekatan terjadi berkurang karena garis rekat yang terbentuk akan terlalu tipis, disamping bias mengakibatkan tidak meratanya perekat di atas permukaan kayu.

Isosianat memiliki kemampuan wetabilitas yang buruk. Hal ini ditandai dengan kemampuan perekat isosianat yang sulit menembus permukaan dan membentuk sudut kontak yang luar yang terkecil atau sudut kontak dalam yang terbesar. Hal ini disebabkan isosianat memiliki kekentalan yang tinggi disbanding dengan larutan lain yang digunakan sebagai perekat. Berbeda halnya dengan NaOH dan air yang memiliki kemampuan tembus permukaan yang relatif baik. Hal ini disebabkan karena kekentalan cairan yang encer atau berupa larutan cair.

Faktor-fator yang mempengaruhi wetabilitas adalah kehalusan permukaan bambu, kekentalan (viscositas) perekat, kandungan bahan dalam bambu, kerapatan dan berat jenis perekat dan Ph perekat dan bambu.

Bambu Tali memiliki kemampuan untuk dibasahi suatu perekat yang lebih baik, hal ini disebabkan pori pada bambu tali lebih rapat sehingga lebih cepat menyebar ke permukaan. Kedua adalah arah serat yang sejajar lebih memungkinkan kecepatan perekat menyebar secara merata dan sempurna. Lain halnya dengan bambu betung yang memiliki nilai cos di setiap perlakuan dibawah 0,50 hal ini berarti energi kayu untuk menyerap perekat rendah, ini terjadi karena pori yang jarang dengan kerapatan tinggi dan arah serat yang tidak sejajar sempurna sehingga penyebaran perekat yang tidak serata dan kandungan kimia yang terdapat didalamnya. Hal ini sesuai dengan literature Soedjono & Hartanto (1994) yang menyatakan bahwa Tumbuhan ini memiliki berbagai kandungan kimia, yang sudah diketahui, contohnya Saponin; aglycone, protosarsapogenin.
Senyawa lain; Asparagine, glukose, fruktose, 5-methoxy, methylfurfural, beta-sitosterol.

Bambu betung memiliki kemampuan untuk dibasahi suatu perekat yang buruk. Hal ini disebabkan keadaan permukaan bambu betung yang relative kasar. Hal ini dapat dibuktikan dari gambar 3 yang menunjukan relief permukaan bambu ini Nampak kasar.

Nilai cos dari bambu tali dengan perlakuan NaOH adalah nilai tertinggi dengan angka mendekati 1 yaitu 0.99. Hal ini menunjukan tegangan kritis bawah permukaan menyebar dan membasahi adheren secara spontan , maka dapat dikatakan bahwa energi permukaan kayu yang semakain tinggi memiliki kemampuan untuk mengikat. Cara memperkirakan energi permukaan kayu adalah grafik cosinus antara sudut kontak cairan dengan tegangan permukaan. Hal ini sesuai dengan literature Ruhendi, dkk (2007) yang menyatakan bahwa Keterbasahan kayu didapat dengan mengukur sudut kontak antara garis rekat cair dengan permukaan kayu adalah grafik cosinus antara kontak cairan dengan tegangan permukaan cairan untuk memperoleh tegangan permukaan setara dengan sudut kontak nol (cos θ = 1).

Bambu dapat menggantikan kayu dengan cara lain yang ditempuh yaitu sambungan pada bambu utuh dengan mengunakan bahan pengisi pada rongga bambu disekitar sambungan. Sebagai bahan pengisi digunakan mortal semen dan kayu dengan pelat buhul dari baja sebagai penghubung yang bertujuan agar bambu tidak mudah pecah. Cara ini telah dilakukan oleh Morisco dan Marjono pada penelitiannya, sedangkan pada penelitian ini penyambungan memakai perekat dengan memvariasikan posisi sambungan pada balok bambu laminasi horizontal. Hal ini sesuai dengan literature Morisco (1999) yang menyatakan bahwa Penyambungan atau perangkaian pada bambu utuh biasanya dilakukan secara konvensional memakai paku dan pasak yang menyebabkan serat yang sejajar dengan kekuatan geser yang rendah menjadikan bambu mudah pecah, sedangkan dengan tali ataupun ijuk kekuatan sambungan hanya didasarkan pada kekuatan gesek antara tali dan ijuk dengan bambu atau antara bambu satu dengan bambu yang lainnya (Morisco, 1999: 6-7).

Masuknya cairan ke permukaan kayu dipengaruhi oleh kasar atau tidak permukaan bambu, dengan kasarnya bambu maka rongga akan terbuka dan memudahkan cairan untuk masuk. Hal ini sesuai dengan teori adhesi mekanikal (mechanical theory of adhesion) berhubungan dengan perekatan pada permukaan yang kasar dan berrongga. Perekatan tersebut efektif karena energi permukaan yang dimiliki akan meningkatkan ikatan perekatan. Pada saat ditekan, permukaan yang kasar akan mendistribusikan kembali stress, seiring dengan hilangnya energi permukaan, maka akan terjadi kegagalan perekatan.

Permukaan bambu perlu memiliki kekasaran tertentu untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan perekatan melalui mechanical interlock. Selain pre-treatment pada permukaan, hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perekatan melalui mechanical interlock, adalah memperluas bidang rekat, meningkatkan wetting kinetics, dan meningkatkan plastisitas perekat (kesesuaian rheologi perekat)



















KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari praktikum ini adalah

  1. Untuk menghemat pemakaian perekat, maka bambu harus dihaluskan terlebih dahulu.

  2. NaOH adalah suatu cairan yang cepat menyebar atau membasahi permukaan bambu.

  3. Bambu tali memiliki nilai cos tertinggi yang menandai energy bambu untuk menyerap permukaan baik.

  4. Semakin tinggi nilai sudut luar atau semakin rendah nilai sudut dalam maka semakin baik perekat melakukan penetrasi.

  5. Isosianat adalah perekat yang paling lambat membasahi permukaan. Hal ini disebabkan viskositas isosianat terlalu tinggi.

Saran

Diharapkan pada praktikan harus lebih teliti dalam mengamati dan memotret tiap tetesan.