PENDAHULUAN
Kayu merupakan hasil hutan yang mudah diproses untuk dijadikan barang sesuai dengan kemajuan teknologi. Kayu memiliki beberapa sifat yang tidak dapat ditiru oleh bahan-bahan lain. Pemilihan dan penggunaan kayu untuk suatu tujuan pemakaian memerlukan pengetahuan tentang sifat-sifat kayu. Sifat-sifat ini penting sekali dalam industri pengolahan kayu sebab dari pengetahuan sifat tersebut tidak saja dapat dipilih jenis kayu yang tepat serta macam penggunaan yang memungkinkan, akan tetapi juga dapat dipilih kemungkinan penggantian oleh jenis kayu lainnya apabila jenis yang bersangkutan sulit didapat secara kontinyu atau terlalu mahal (Budianto, 1996).
Penggergajian adalah proses perubahan bentuk (konversi) kayu bulat atau dolok menjadi kayu persegian, seperti papan, balok, kaso, reng, dan lain-lain untuk tujuan pemanfaatan kayu yang lebih efektif dan efisien sebagai bahan bangunan, mebel, alat-alat rumah tangga (furniture) atau barang kerajinan (Fortech, 2008).
Dengan memiliki luasan yang besar maka hasil kayunya juga besar, maka diperlukan adanya industri penggergajian untuk memotong kayu hasil pemanenan sesuai dengan pesanan. Sehingga banyaklah lahir industri penggergajian di Indonesia. Tetapi dengan timbulnya kerusakan hutan akibat berbagai hal, antara lain: illegal logging, kebakaran hutan, eksploitasi hutan, dan banyak lagi hal-hal lainnya (Khan, 2005).
Persoalan kerusakan hutan dalam berbagai kesempatan diskusi sering dikaitkan antara lain dengan adanya kapasitas berlebih (over-capacity). Namun dilain pihak, isunya yang mengemuka justru lebih kepada pengkondisian bahwa industri perkayuan Indonesia mengalami kekurangan bahan baku yang sangat serius. Peran penghasil devisa dari sector industri perkayuan sering dijadikan alasan kunci untuk segera keluar dari kekurangan bahan baku ini. Hal ini identik dengan seberapa besar lagi hutan harus dibuka dan diusahakan yang akhirnya tentu saja meningkatkan daya tekan industri terhadap keberadaan dan fisik hutan. Celakanya, semangat untuk keluar dari kemelut ini tanpa disertai dengan perhitungan yang matang, misalnya dikaitkan dengan faktor efisiensi teknis pemanfaatan dan pengelolaan perusahaan atau bahkan industri perkayuan tertentu (Khan, 2005).
Data 1997 menunjukkan total kapasitas terpasang tanpa pulp-kertas sebesar 43 juta m3 yang terdiri dari 21 juta m3 kayu lapis dan 22 juta m3 penggergajian dari sekitar 1500 unit penggergajian (Dephutbun 1997). Dalam kondisi normal alias tanpa krisis kedua macam industri ini berjalan dengan tingkat pemanfaatan 90-110 % (kayu lapis) dan 70% (penggergajian). Saat krisis sekarang ini tingkat pemanfaatan ini berkisar antara 50 % (penggergajian) dan 85 % (kayu lapis). Dengan tingkat pemanfaatan ini, maka total efektif permintaan akan kayu bulat sebesar 28.85 juta m3 per tahun sekali lagi tanpa pulp. Kalau angka ini dibandingkan dengan tingkat kemampuan pasok lestari sebesar 22 juta m3/tahun, maka total permintaan ini telah melebihi kemampuan pasoknya secara lestari, yakni sebesar hampir 7 juta m3/tahun. Jika kebutuhan kayu bulat untuk pulp sebesar 16 juta m3/tahun (yakni sekitar 70 % dari total kapasitas terpasang industri perkayuan (data BPS 1997 diolah), dimasukan kedalam perhitungan, maka perbedaan antara total efektif permintaan dan kemampuan pasokan lestari menjadi sebesar hampir 24 juta m3. Angka inilah yang kemudian sering dikelompokkan kedalam jenis kayu illegal atau kayu yang tidak teridentifikasi dengan jelas keabsahannya. Pada 1998, angka perbedaan ini bahkan meningkat tajam menjadi sekitar 40 juta m3/tahun (Khan, 2005).
TINJAUAN PUSTAKA
Mesin gergaji merupakan mesin pertama yang menentukan proses lebih lanjut. Dapat dimaklumi bahwa mesin ini memiliki kepadatan operasi yang relatif tinggi pada bengkel-bengkel produksi. Gergaji tangan biasa digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan yang sederhana dalam jumlah produksi yang rendah. Untuk pekerjaan-pekerjaan dengan persyaratan ketelitian tinggi dengan kapasitas yang tinggi diperlukan mesin-mesin gergaji khusus yang bekerja secara otomatik dengan bantuan mesin. Mesin-mesin gergaji memiliki konstruksi yang beragam sesuai dengan ukuran, bentuk dan jenis material benda kerja yang akan dipotong. Adapun klasifikasi mesin-mesin gergaji yang terdapat digunakan adalah sebagai berikut:
a Mesin gergaji bolak-balik (Hacksaw-Machine). Mesin gergaji ini umumnya memiliki pisau gergaji dengan panjang antara 300 mm sampai 900 mm dengan ketebalan 1,25 mm sampai 3 mm dengan jumlah gigi rata-rata antara 1 sampai 6 gigi iper inchi dengan material HSS. Karena gerakkan yang bolak-balik, maka waktu yang digunakan untuk memotong adalah 50%.
b Mesin gergaji piringan (Circular Saw). Diameter piringan gergaji dapat mencapai 200 sampai 400 mm dengan ketebalan 0,5 mm dengan ketelitian gerigi pada keliling piringan memiliki ketinggian antara 0,25 mm sampai 0,50 mm. Pada proses penggergajian ini selalu digunakan cairan pendingin. Toleransi yang dapat dicapai antara kurang lebih 0,5 mm sampai kurang lebih 1,5 mm.
c Mesin Gergaji pita (Band Saw). Mesin gergaji yang telah dijelaskan sebelumnya adalah gergaji untuk pemotong lurus. Dalam hal mesin gergaji pita memiliki keunikan yaitu mampu memotong dalam bentuk-bentuk tidak lurus atau lengkung yang tidak beraturan. Kecepatan pita gergajinya bervariasi antara 18 m/menit sampai 450 m/menit agar dapat memenuhi kecepatan potong dari berbagai jenis material benda kerja (Sidiq, 2007).
Kegiatan mengkonversi pohon menjadi ukuran sotimen-sortimen kayu tertentu dengan cara menggergaji log searah panjang pohon merupakan aktivitas utama dalam penggergajian. Sortimen-sortimen kayu tersebut dalam bahasa Inggris disebut sebagai lumber, dimana produk turunannya kita kenal sebagai kaso (joist), papan (plank), balok (beam), gelegar (stringer), tiang (post & timber), dan lain-lain (Risnasari, 2008).
Saat ini jika menyusuri Sungai Barito sampai di Alalak akan terlihat
deretan gubuk-gubuk bansaw (penggergajian kayu rakyat) yang sebagian
besar sudah tutup. Di aliran sungai itu dulu bertebaran kayu gelondongan yang mengapung untuk bahan baku penggergajian. Hanya segelintir bansaw yang masih mempunyai kayu gelondongan, itu pun sebenarnya kayu gelondongan yang sudah busuk dan jika hanyut pun tidak akan ada orang yang mau mengambilnya karena kayu-kayu yang hanyut ini sudah lama di air, ada yang sampai 12 tahun sehingga banyak warga yang tidak mau. Setiap hari warga yang mempunyai penggergajian atau yang bekerja di penggergajian menunggu datangnya kayu hanyut itu. Ada yang diperoleh sendiri, ada pula yang dibeli dari warga dengan harga sangat murah, mulai Rp 1.000 sampai Rp 20.000 per gelondongan, tergantung kondisi kayu. Yang bisa dipakai hanya dalamnya saja karena bagian luarnya sudah busuk. Setelah jadi kayu gergajian harganya juga murah. Kalau kondisinya bagus bisa dipakai untuk kayu joint (disambung-sambung) untuk ekspor. Ada juga yang nantinya hanya dihancurkan untuk bahan
papan, dulu bansaw-bansaw itu bisa hidup karena mendapat suplai dari perusahaan pemegang HPH. Penggergajian-penggergajian itu juga memanfaatkan limbah perusahaan HPH. Sekarang untuk mendapatkan kayu limbah pun sulit (Sodikin, 2003)
deretan gubuk-gubuk bansaw (penggergajian kayu rakyat) yang sebagian
besar sudah tutup. Di aliran sungai itu dulu bertebaran kayu gelondongan yang mengapung untuk bahan baku penggergajian. Hanya segelintir bansaw yang masih mempunyai kayu gelondongan, itu pun sebenarnya kayu gelondongan yang sudah busuk dan jika hanyut pun tidak akan ada orang yang mau mengambilnya karena kayu-kayu yang hanyut ini sudah lama di air, ada yang sampai 12 tahun sehingga banyak warga yang tidak mau. Setiap hari warga yang mempunyai penggergajian atau yang bekerja di penggergajian menunggu datangnya kayu hanyut itu. Ada yang diperoleh sendiri, ada pula yang dibeli dari warga dengan harga sangat murah, mulai Rp 1.000 sampai Rp 20.000 per gelondongan, tergantung kondisi kayu. Yang bisa dipakai hanya dalamnya saja karena bagian luarnya sudah busuk. Setelah jadi kayu gergajian harganya juga murah. Kalau kondisinya bagus bisa dipakai untuk kayu joint (disambung-sambung) untuk ekspor. Ada juga yang nantinya hanya dihancurkan untuk bahan
papan, dulu bansaw-bansaw itu bisa hidup karena mendapat suplai dari perusahaan pemegang HPH. Penggergajian-penggergajian itu juga memanfaatkan limbah perusahaan HPH. Sekarang untuk mendapatkan kayu limbah pun sulit (Sodikin, 2003)
Serbuk gergaji adalah produk sampingan atau limbah dari penggergajian kayu selain sedetan dan potongan kayu. Serbuk gergaji merupakan bahan yang banyak tertimbun dan cenderung menjadi sampah karena pemanfaatannya yang masih sedikit / relatif kecil, sehingga perlu ditangani secara serius. Selain itu, dewasa ini serbuk gergaji hanya dimanfaatkan untuk sebagian kecil kebutuhan saja. Misalnya sebagai bahan pembakaran batu bata. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh W.T Kartono, (1992:8) dalam Andrias, dkk (1996) menyatakan bahwa rata-rata limbah yang dihasilkan oleh industri penggergajian adalah 49, 15 %, dengan perincian sebagai berikut :
a. Serbuk Gergaji 8,46%
b. Sedetan 24,41 %
c. Potongan-potongan kayu 16,28 % (Nurmawati, 2006).
Ada beberapa mesin-mesin dasar dalam pengelolaan kayu dalam industri penggergajian, antara lain sebagai berikut:
Mesin jenis ini bisa berupa circle saw atau band saw (gergaji pita) dengan fungsi utamanya adalah membelah kayu atau logs. Terdiri dari satu bilah gergaji lingkaran pada satu poros motor penggerak. Konfigurasi pemasangannya pada mesin bisa bermacam-macam. Anda bisa melakukan berbagai pekerjaan kayu dengan mesin ini misalnya: membelah kayu, memotong papan dalam berbagai sudut, membuat pen dan alur. Prinsip kerja mesin ini adalah untuk membelah kayu hingga pada ukuran mendekati ukuran jadi. harus disisakan beberapa milimeter untuk proses pengetaman dengan mesin serut (planner).
Berfungsi untuk menghaluskan sisi kayu setelah proses penggergajian. Mesin ketam standar bekerja dengan menghaluskan permukaan satu demi satu sisi kayu. Hanya satu meja kerja yang terdapat pisau penyerut. Pada perkembangannya mesin ini bisa sekaligus menyerut 4 sisi kayu dan dikombinasi dengan jenis pisau lainnya. Poros pisau terpasang horisontal dengan meja penghantar vertikal. Hasil kerja dari mesin ini harus menjadi ukuran final yang tidak mungkin lagi dikurangi kecuali dengan amplas. Hasil permukaan dari kerja mesin ini akan halus, lebih halus dari mesin gergaji karena tidak akan terdapat cuttermark sebesar gergaji.
Terdiri dari satu poros motor pada prinsipnya untuk membuat lubang pen, dowel atau lubang untuk sekrup dan alat tambahan lain yang berbentuk bulat. Perkembangannya saat ini mesin bor bisa untuk melakukan pengeboran beberapa lubang sekaligus pada satu permukaan secara horisontal maupun vertikal. Pengeboran sebaiknya dilakukan setelah seluruh permukaan kayu diserut dan dipotong pada ukuran jadi yang diinginkan.
Poros pisau terpasang vertikal pada sebuah permukaan meja mesin dan berfungsi untuk membuat bentuk profile pada sisi samping kayu. Jenis pisau bisa diganti sesuai dengan desain yang diinginkan. Pada kombinasi lain jumlah pisau bisa lebih dari satu dan seluruhnya terpasang secara vertikal. Proses bisa dilakukan setelah proses penggergajian karena hasil kerja mesin ini hampir sama dengan mesin serut, permukaan halus dan cukup dengan mesin amplas sebelum proses finishing.
e) Router
Prinsip dasarnya mirip dengan mesin bor vertikal namun kepala pisaunya memiliki bentuk dan desain yang berbeda. Karena router ini berfungsi untuk membuat alur pada permukaan kayu maka pisau berada pada posisi vertikal ke arah bawah. (berbalikan dengan mesin profile (spindle). Mesin Router didesain dengan kecepatan putar (rpm) jauh lebih tinggi dari mesin bor biasa (Anonim, 2008).
Departemen Kehutanan (Dephut) menyetujui Rencana Pemanfaatan Bahan Baku Industri (RPBI) kayu bulat sebesar 32,95 juta meter kubik (m3) untuk dimanfaatkan oleh berbagai industri hasil hutan kayu. Setelah dilakukan penilaian, maka pemerintah pun menetapkan jumlah kayu dari hutan yang diizinkan dimanfaatkan kalangan industri perkayuan itu adalah sebesar 32,95 juta m3. Pasokan bahan baku sebanyak itu dipenuhi dari Perum Perhutani sebesar 80.080 m3, Hutan Tanaman Industri (HTI) 14,3 juta m3 dan hutan alam produksi di areal kerja perusahaan pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 5,9 juta m3 (Brilliantono, 2008).
Kayu hasil penebangan disebut logs. Logs didistribusikan ke pabrik atau pusat penggergajian menggunakan angkutan khusus baik di darat maupun melalui sungai. Beberapa perusahaan mengupas kulit logs agar bisa lebih cepat kering selama perjalanan. Biasanya pembeli ingin segera mengolah log tersebut beberapa hari setelah log tiba di dalam sawmill dan kiln dry. Untuk menghindari kerusakan dan retak, penampang log diberi 'paku cacing' sebagai pengaman. Kemudian log dibelah sesuai dengan ukuran yang dibutuhkan. Standar ketebalan papan pada saat pembelahan log adalah 3, 5, 7, 10, 12, dan 15 cm. Di area penggergajian kayu, papan-papan hasil pembelahan dipisahkan sesuai ketebalan dan jenis kayu sehingga memudahkan pengaturan di dalam kiln dry (Anonim, 2005).
Jenis kayu apapun harus melalui proses pengeringan. Adapun yang perlu diperhatikan adalah ukuran ketebalan papan, cara penumpukkan dan metode pengeringan. Kayu yang lunak cenderung mudah pecah apabila proses pengeringan terlalu cepat. Pengeringan kayu membutuhkan waktu antara 2 hingga 4 minggu, dipengaruhi oleh jenis kayu, ketebalan papan dan kapasitas pengering. Cara pengeringan yang baik adalah dengan menggunakan peralatan yang benar. Pada beberapa industri kayu kecil biasanya untuk mengeringkan kayu cukup dengan disandarkan pada dinding atau tiang dan mengandalkan sinar matahari (Anonim, 2005).
thank you bro sangat membantu untuk menyelesaikan tugasku..........
BalasHapus