Selasa, 07 April 2009

MK. Ekonomi Sumber Daya Hutan Medan, 6 April 2009


TAKE HOME EXAMS UTS
M.K. EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN

Dosen Pembimbing :
AGUS PURWOKO S.Hut M, Si

Oleh :

KELOMPOK:
ADE ARDIAN SAPUTRA PULUNGAN 071203004
IRVAN SIBARANI 071203007
EVA MEDYNA L. BATU 071203016
ORINA M.M MANURUNG 071203022
JULIUS ZAKSON SIGIRO 071203029










PROGRAM STUDY TEKNOLOGI HASIL HUTAN
DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2 0 0 8
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang masih memberikan kesehatan dan pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan Ringkasan Materi kuliah Ekonomi Sumber Daya Hutan ini dengan baik.
Adapun tugas ini adalah yang dibuat dengan prosedur-prosedur yang berlaku dan yang merupakan salah satu soal ujian UTS di Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu penulis dalam pembuatan ringkasan materi kulian ini khususnya kepada dosen pembimbing Agus purwoko S. Hut., M. Si serta kepada teman-teman sekalian yang sudi membantu dan membimbing penulis.
Penulis juga menyadari bahwa masih ada kesalahan dan kekurangan pembuatan ringkasan materi kuliah tentang Ekonomi Sumber Daya Hutan ini. Untuk itu penulis berharap kepada para pembina baik dosen, dan teman-teman agar memberikan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaannya.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas tentang ringkasan mata kuliah Ekonomi Sumber Daya Hutan ini semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.



Medan, April 2009



Penulis






EKONOMI SUMBER DAYA HUTAN

A. Kekayaan Alam
Indonesia dengan luas daratan sekitar 189 juta hektar memiliki 120,35 juta hektar sumberdaya hutan dan 14,2 juta hektar kebun. Indonesia dikenal sebagai negara yang kaya akan berbagai species hidupan liar dan beragam tipe ekosistem (mega-biodiversity). Selama tiga dekade terakhir, sumberdaya hutan dan kebun telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain kebijakan pembangunan pada masa lalu tersebut telah menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Dari segi sosial ekonomi masyarakat lokal, dampak pembangunan kehutanan dan perkebunan terhadap peningkatan kesejahteraan tidak cukup nyata akibat adanya proses marginalisasi masyarakat sekitar hutan dan kebun yang nampak dari adanya kesenjangan dan kemiskinan. Kondisi tersebut menjadi tekanan yang menyebabkan sulit tercapainya pengelolaan hutan dan kebun secara lestari. Dari segi sumberdaya, telah terjadi degradasi dimana laju deforestasi diperkirakan sebesar 1,6 juta hektar per tahun selama sepuluh tahun terakhir. Degradasi tersebut antara lain disebabkan oleh pengelolaan hutan yang tidak tepat, pembukaan kawasan hutan dalam skala besar untuk berbagai keperluan pembangunan, over cutting dan illegal logging, penjarahan, perambahan, okupasi lahan dan kebakaran hutan. Sementara itu terjadi pula ekses kapasitas industri pengolahan kayu di atas kemampuan supply bahan baku lestari. Kerusakan lingkungan, penjarahan dan penyerobotan lahan terjadi juga pada areal perkebunan
Permasalahan mendasar yang mengakibatkan kelemahan tersebut antara lain adalah orientasi yang terlalu bertumpu pada paradigma pertumbuhan ekonomi dan menitikberatkan pada produksi primer, kebijakan alokasi sumberdaya yang tidak adil, sistem pengelolaan yang tidak memenuhi kaidah kelestarian, KKN, lemahnya penegakan hukum dan pengawasan, koordinasi antar sektor yang belum berjalan baik, serta pola pembangunan yang sentralistik. Permasalahan fundamental dalam bidang perkebunan antara lain berlangsungnya ekonomi dualistik, struktur pengusahaan yang monopolistik dan oligopolistik dan lemahnya keterkaitan hulu dan hilir.
Pembangunan kehutanan dan perkebunan yang berkelanjutan dan berkeadilan tidak mungkin tercapai, apabila paradigma lama masih dijadikan acuan, oleh karena itu diperlukan perubahan paradigma secara mendasar. Pergeseran paradigma telah dimulai sejak berakhirnya pemerintahan orde baru, paradigma baru pembangunan kehutanan dan perkebunan tersebut adalah pergeseran orientasi dari pengelolaan kayu dan komoditi (timber and commodity management) menjadi pengelolaan sumberdaya (resources-based management), pengelolaan yang sentralistik menjadi desentralistik, serta pengelolaan sumberdaya yang berkeadilan. Secara ringkas, pengelolaan sumberdaya hutan dan kebun di masa depan lebih mempertimbangkan keseimbangan antara aspek ekonomi, ekologi dan sosial masyarakat sebagai ultimate beneficiaries pembangunan.

B. Pengertian
Ilmu ekonomi secara konvensial sering didefinisikansebagai ilmu yang mempelajari bagamana manusia mengalokasikan sumber daya yang langka.dalam literatur ekonomi sumber daya, pengertian atau konsep sumber daya didefinisikan beragam, antara lain sebagai berikut.
1.Kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu
2. Sumber persediaan, penunjang atau kebutuhan
3. Sarana yang dihasilkan oleh kemampuan atau pemikiran seseorang
(Fauzi, 2004)
Ekonomi memang merupakan ilmu sosial sehingga ekonomi sumber daya hutan adalah segi sosial dari ilmu-ilmu kehutanan yang berbeda dengan subjek-subjek pengetahuan ilmu kehutanan yang lebih bersifat fisik dan biologik. Segi sosial subjek pengetahuan ilmu-ilmu kehutanan yang sudah lebih dulu ada ialah Administrasi dan Kebijakan kehutanan yang kemudian berkembang menjadi Politik Kehutanan dan Administrasi Kehutanan, Ekonomi Sumber Daya Hutan kemudian tampil yang dikembangkan dalam Ilmu Kehutanan Sosial (Wirakusumah, 2003).


C. Ciri-ciri Sumber Daya Hutan
Semakin langkanya sumber daya hutan dengan sifat-sifatnya yang khas, telah mendorong lahirnya ekonomi sumber daya hutan sebagai objek pengetahuan sumber daya disiplin ilmu-ilmu kehutanan yang para rimbawan perlu mempelajarinya. Sebagai sumber daya ekonomi, pada dasarnya sumber daya hutan bersifat lentur (versatile) berarti berpotensi sangat luwes untuk dapat dimanfaatkan dalam banyak ragam komoditi akhir, bahkan komoditi-komoditi sumber daya hutan itu dapat dimanfaatkan berulang kali (Wirakusumah, 2003).
Ciri sumberdaya hutan yang penting adalah peranannya sebagai sistem penunjang kehidupan. Dalam hal ini hutan tropika berperan sebagai paru-paru dunia yang merupakan barang publik (international public goods) dan sumber keragaman hayati. Peran tersebut selain menyebabkan tingginya concern, juga telah menyebabkan adanya tekanan dunia internasional terhadap kegiatan pembangunan kehutanan dan perkebunan. Komitmen internasional yang disepakati pemerintah sebagaimana tertuang dalam nota kesepahaman dengan IMF serta Consultative Group on Indonesia (CGI) akan merupakan bagian penting dari pembangunan kehutanan dan perkebunan di masa mendatang (Anonimous, 2007).

D. Klasifikasi Hasil Hutan
Jasa rekreasi hutan sebagai produk tambahan dan sifatnya tidak nyata (intangible) dari hutan menghadapi tantangan ketika jenis produk ini tidak memiliki harga pada sistem pasar normal, padahal permintaan masyarakat akan jasa rekreasi hutan terus meningkat sebagai akibat dari pendapatan per kapita penduduk naik, meningkatnya mobilitas penduduk dan ketersediaan waktu luang bagi sebagian masyarakat (Anonim, 2008)
Di Sulawesi Selatan terdapat 10 taman wisata alam, yaitu: Taman Wisata Alam Malino, Taman Wisata Alam Cani Sidenreng, Taman Wisata Alam Lejja, Taman Wisata Alam Sidrap, Taman Wisata Alam Danau Matano-Mahalona, Taman Wisata Alam Danau Tuwoti, Taman Wisata Alam Nanggala III, Taman Wisata Alam Laut Kepulauan Kapoposang, Taman Wisata Alam Goa Pattunuang dan Taman Wisata Alam Bantimurung. Taman wisata alam yang relatif paling mudah dijangkau dari kota Makassar adalah TWA Bantimurung. TWA Bantimurung terletak di tepi jalan provinsi yang menghubungkan Maros dengan Camba. Dari Makassar untuk mencapai lokasi dapat ditempuh melalui jalan negara sampai Maros ± 26 km dengan menggunakan kendaraan umum seperti bus, kemudian dilanjutkan melalui jalan Provinsi Maros – Bantimurung yang berjarak ± 17 km dengan jenis jasa rekreasi meliputi air terjun, hutan hujan tropis dan goa karst (Anonim, 2008).
Dalam usaha untuk lebih mengoptimalkan hasil-hasil hutan non kayu terutama jasa rekreasi, maka perlu dilakukan pemodelan penilaian ekonomi terhadap TWA Bantimurung. Tulisan ini mengulas tentang model penilaian ekonomi yang dapat digunakan sebagai acuan bagi pihak pengelola TWA Bantimurung.

E. Manfaat dan Fungsi Hutan
Makna hutan sangat bervariasi sesuai dengan spesifikasi ilmu yang dibidangi. Dari sudut pandang orang ekonomis, hutan merupakan tempat menanam modal jangka panjang yang sangat menguntungkan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Menurut sudut pandang ahli silvika, hutan merupakan suatu assosiasi dari tumbuh-tumbuhan yang sebagian besar terdiri atas pohon-pohon atau vegetasi berkayu yang menempati areal luas. Sedangkan menurut ahli ekologi mengartikan hutan sebagai suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan yang dikuasai oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan berbeda dengan keadaan di luar hutan.
A. Manfaat Hutan.
Hutan memberikan manfaat yang besar bagi kehidupan manusia, mulai dari pengatur tata air, paru-paru dunia, sampai pada kegiatan industri. Pamulardi (1999) menerangkan bahwa dalam perkembangannya hutan telah dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, antara lain pemanfaatan hutan dalam bidang Hak Pengusahaan Hutan, Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri.
Sebagai salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia, manfaat hutan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : manfaat tangible (langsung/nyata) dan manfaat intangible (tidak langsung /tidak nyata). Manfaat tangible atau manfaat langsung hutan antara lain : kayu, hasil hutan ikutan, dan lain-lain. Sedangkan manfaat intangible atau manfaat tidak langsung hutan antara lain : pengaturan tata air, rekreasi, pendidikan, kenyamanan lingkungan, dan lain-lain. Manfaat tangible diantaranya berupa hasil kayu dan non kayu. Hasil hutan kayu dimanfaatkan untuk keperluan kayu perkakas, kayu bakar dan pulp. Sedangkan hasil-hasil hutan yang termasuk non kayu antara lain rotan, kina, sutera alam, kayu putih, gondorukem dan terpentin, kemeyan dan lain-lain.
Berdasarkan kemampuan untuk dipasarkan, manfaat hutan juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : manfaat marketable dan manfaat non-marketable. Manfaat hutan non-marketable adalah barang dan jasa hutan yang belum dikenal nilainya atau belum ada pasarnya, seperti : beberapa jenis kayu lokal, kayu energi, binatang, dan seluruh manfaat intangible hutan.
B. Fungsi Hutan.
Dalam Undang-undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, hutan mempunyai tiga fungsi, yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi. Selanjutnya pemerintah menetapkan hutan berdasarkan fungsi pokoknya ada tiga, yaitu hutan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi. menerangkan hutan lindung adalah hutan yang diperuntukan bagi perlindungan tata tanah dan air bagi kawasan di sekitarnya. Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang diperuntukan bagi perlindungan alam, pengawetan jenis-jenis flora dan fauna, wisata alam dan keperluan ilmu pengetahuan. Hutan produksi adalah hutan yang diperuntukan bagi produksi kayu dan hasil hutan lainnya untuk mendukung perekonomian negara dan perekonomian masyarakat.
Fungsi hutan ditinjau dari kepentingan sosial ekonomi, sifat alam sekitarnya, dan sifat-sifat lainnya yang berkenan dengan kehidupan manusia, dapat dikatakan bahwa hutan berperan sebagai sumber daya. Dengan kondisi ini, sumber daya hutan menjadi salah satu modal pembangunan, baik dari segi produksi hasil hutan atau fungsi plasma nutfah maupun penyanggah kehidupan. Peranan tersebut menjadi salah satu modal dasar pembangunan berbagai segi, tergantung pada keadaan dan kondisi setempat. Oleh karena agar sumber daya hutan dapat dimanfaatkan secara optimal, maka kawasan hutan dibedakan menjadi beberapa kelompok berdasarkan fungsinya yakni fungsi pelindung, fungsi produksi dan fungsi lainnya. Hutan yang berfungsi sebagai pelindung merupakan kawasan yang keadaan alamnya diperuntukan sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir, pencegahan erosi dan pemeliharaan kesuburan tanah. Hutan yang berfungsi produksi adalah kawasan hutan yang ditumbuhi oleh pepohonan keras yang perkembangannya selalu diusahakan dan dikhususkan untuk dipungut hasilnya, baik berupa kayu-kayuan maupun hasil sampingan lainnya seperti getah, damar, akar dan lain-lain. Fungsi lain dari hutan adalah sebagai hutan konversi. Hutan ini diperuntukan untuk kepentingan lain misalnya pertanian, perkebunan dan pemukiman. Walaupun hutan mempunyai fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, namun fungsi utama hutan tidak akan berubah, yakni untuk menyelenggarakan keseimbangan oksigen dan karbon dioksida, serta untuk mempertahankan kesuburan tanah, keseimbangan tata air wilayah dan kelestarian daerah dari erosi.
Secara ekologi fungsi hutan adalah sebagai penyerap air hujan untuk mencegah terjadinya erosi. Hutan mempunyai peranan penting dalam mengatur aliran air ke daerah pertanian dan perkotaan, baik lokal, regional maupun global. Sebagai contoh, 50 % sampai 80 % dari kelembaban yang ada di udara di atas hutan tropik berasal dari hutan melalui proses transpirasi dan respirasi. Jika hutan dirambah presipitasi atau curah hujan yang turun akan berkurang dan suhu udara akan naik.

F. Karakteristik Sumber Daya Hutan dalam Perspektif Ekonomi
Sampai saat ini harapan dapat terwujudnya bentuk pengolahan hutan yang tepat dan stabil belum dapat diperoleh. Siapa pun Menteri Kehutanan yang menjabat apalagi setelah era reformasi 1998 ternyata tidak mampu memperbaiki kerusakan sumberdaya hutan dengan berbagai program kebijakan prioritasnya. Kecuali hutan Jawa yang dikelola oleh Perum Perhutani, sumberdaya hutan nasional tidak kunjung membaik. Deforestasi seluas 1,6 juta hektar per tahun (1985-1997) meningkat tajam di era reformasi menjadi 2,83 juta hektar pertahun (1998-2000), entah angkanya saat ini, yang diwaranai pula dengan asap dan kebakaran lahan dan hutan, antara lain seluas sekitar 9 juta hektar tahun 1997/1998. Lahan kosong di kawasan hutan hutan mencapai 31,952 juta hektar (24%) masih ditambah sekitar 17,283 juta hektar belum terdeteksi perlu direhabilitasi telah mencapai 59,2 juta hektar.
Seiring dengan memburuknya kondisi kawasan hutan tersebut, produksi kayu alam HPH semakin menipis pada titik rendah sekitar 5-6 juta meter kubik per tahun. Sedang keberhasilan hutan tanaman dari HPHTI masih sangat rendah baik laju perluasan tanaman maupun produksi kayunya. Sebaliknya praktek illegal logging yang meskipun terus diberantas melalui operasi represif tidak kenal menurun. Penyelundupan kayu ke luar negeri juga cenderung meningkat dengan trend yang tidak pernah mampu dikenali secara tepat.
Namun ada yang menggembirakan, devisa produk-produk kehutanan justru meningkat. Tercatat angka devisa sebesar US$ 4,873 milyar (2001), berturut-turut meningkat menjadi US $ 5,819 milyar (2002), US $ 6,318 milyar (2003), dan tahun 2004 sebesar US $ 7,726 milyar. Produk pulpa & kertas merupakan penopang laju peningkatan devisa tersebut. Devisa dari ekspor satwa dan hasil hutan non kayu tercatat meningkat dari tahun ke tahun bernilai puluhan juta dolar AS. Hanya, naiknya devisa khususnya dari produksi pulpa malahan di curigai sebagai bentuk ekploitasi hutan alam ilegal.
Pemerintah SBY-JK yang tersisa 2(dua) tahunan tidak dapat melakukan pembenahan pengelolaan sumberdaya hutan dan kehutanan tanpa melakukan perombakan besar menyangkut sistem politik penyelenggaraan pengelolaan hutan, institusi dan sumberdaya manusianya. Pengelolaan hutan dan kehutanan yang sarat dengan kompleksitas problem sosial, ekonomi, lingkungan dan kriminal juga memerlukan produk legal yang ditaati dan ditegakan dengan berani. Sedangkan penyelenggaraan politik kenegaraan era otonomi daerah tetap dianggap menambah peningkatan kerusakan hutan yang tidak terkendali itu.
Pengelolaan hutan dan kehutanan yang sangat penting bagi kelestarian ekosistem, penyejahteraan sosial dan perolehan dana pembangunan di yakini memerlukan masa benah (recorvery period) yang masih panjang, siapun menteri ataupun upaya program kehutanan yang dilakukan. Panjangnya masa transisi perbaikan pengelolaan hutan antara lain diindikasikan oleh: (i) masih tetap lebarnya gap dan pertentangan kebijakan kehutanan Pusat dan Daerah dalam praktek pengelolaan hutan, termasuk dalam menyikapi adanya PP ataupun Peraturan Menteri Kehutanan yang masih seringkali diperdebatkan oleh daerah; (ii) hasil hutan kayu tetap merupakan andalan pendapatan bagi daerah-daerah yang memiliki sumberdaya hutan, dan terus diekspolitasi baik secara legal maupun secara illegal; (iii) lebarnya rentang koordinasi pusat-daerah yang tidak dilandasi rantai kewenangan hirarki; (iv) belum terfokusnya program kehutanan jangka panjang baik ditingkat pusat maupun daerah yang mengakar; (v) belum mantapnya organisasi dan personil kehutanan di puast dan didaerah dalam mencapai tujuan pengelolaan hutan yang baik; (vi) “ancaman” proses politik hasil Pemilu ataupun Pilkada yang tetap berpotensi akan merubah arah kebijakan pengelolaan kehutanan dan keselamatan sumberdata hutan; (vii) pengelolaan dan pembinaan sumberdaya manusia yang hanya dibatasi oleh lingkup kedaraerahan juga menyumbang semakin tidak terkendalinya pengelolaan kehutanan yang baik; (viii) hutan juga semakin terancam rusak karena lemahnya penegakan hukum, termasuk anarkisme sosial yang masih sulit dikendalikan dilapangan; dan (ix), yang paling utama menyebabkan masih terbengkalainya pengurusan hutan adalah sistem penyelenggaraan kehutanan di daerah yang prakteknya hanya bersifat pengurusan, bukan dilakukan dengan sistem pemangkuan seperti layaknya yang harus dilakukan.
Sangat disayangkan, bahwa reformasi dan dipaksakanya praktek otonomi daerah di bidang pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan dengan terburu-buru ternyata memiliki peran besar terhadap merosotnya kualitas dan kuantitas sumberdaya hutan dan lingkungan. Pemberian desentralisasi kewenangan dan otonomi yang besar tanpa rambu-rambu yang dipatuhi telah menyebabkan dirusaknya sumberdaya hutan secara sadar, menggunakan payung legal, massal dan serentak dalam waktu yang sangat pendek. Pemerintah daerah sempat berlomba menerbitkan berbagai Perda dibidang Kehutanan, di saat pemerintah pusat kedodoran menyusun aturan-aturan untuk dipedomani di daerah. Keputusan Menteripun tidak mudah dilaksanakan oleh pemerintah daerah meski diantaranya juga memiliki rimbawan praktek yang selayaknya juga memahami masalah pelestarian hutan.
Karenanya, masa benah pengelolaan hutan dan kehutanan Indonesia memerlukan keberanian untuk merombak sistem penyelenggaraan yang telah ada. Lembaga legislatif dan pemerintah harus secepatnya menyusun ulang atau menyempurnakan aturan UU maupun PP dan Perda bagi pemberdayaan masing-masing jenjang institusi pemerintahan pusat-daerah yang saling megikat dan terikat dalam upaya pelestarian sumberdaya hutan dan lingkungan. Pengalaman terbitnya PP Nomor 34/2002 yang mengatur penataan pengelolaan hutan yang diharapkan menjadi payung yang efektif menjembatani UU Nomor 22/99 dan PP Nomor 25/2000 dengan UU Kehutanan Nomor 41/99 ternyata menimbulkan kontroversi karena berbedanya penafsiran (Kompas, 20/11/2002) agar tidak terulangi. Daerah Kabupaten/Kota keluarnya PP34/2002 dimaksudkan untuk re-sentralisasi pengelolaan hutan, tanpa menyadari makna bahwa sebenarnya memang diperlukan suatu pengendalian sentralistik terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Termasuk khususnya pendayagunaan sumberdaya hutan dan ekosistem lingkungan, bahkan pola pembinaan SDM Kehutanan, yang dilupakan oleh para penggagas percepatan otonomi daerah akibat tidak memahami esensi kesatuan suatu pengelolaan lingkungan.
Semangat pemerintah di era otonomi daerah yang cenderung primordial dan parsial khususnya menyangkut pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungan harus dibuang jauh-jauh apabila menghendaki hutan akan diperbaiki. Sistem pemangkuan hutan yang harus diterapkan di masing-masing kabupaten selayaknya dilakukan oleh masing-masing daerah meskipun bertahap. Dengan sistem pemangkuan kawasan hutan tersebut tidak akan ada lagi satu jenis pekerjaan kehutanan yang tidak tertangani. Tanggungjawab terhadap kawasan menjadi mutlak, dan tidak boleh lagi ada istilah “tanah tak bertuan” pada loaksi-lokasi yang ditinggalkan HPH/HPHTI. Masyarakat merupakan faktor kunci yang diyakini berperan besar dalam keberhasilan pengelolaan hutan. Lebih dari itu, perlu direnungkan kembali perlunya “re-sentralisasi” pengelolaan sumberdaya alam dan hutan dengan pengaturan tanggung jawab pusat-daerah yang adil namun tidak terpotong-potong secara parsial, serta institusi perencanaan terpadu berdasarkan pembagian wilayah daerah aliran sungai (DAS). Sekali lagi pengalaman Perum Perhutani mengelola hutan Jawa dengan pola Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang berjalan baik kiranya tidak berlebihan untuk disimak dan dicontoh sesuai kondisi faktual nasional dan masing-masing daerah.
Masa benah pengelolaan sumberdaya hutan dan kehutanan Indonesia meskipun diyakini memerlukan waktu panjang, tetap harus dilakukan mulai sekarang. Masalah pokok menyangkut sistem penyelenggaraan pengelolaan kehutanan yang bertumpu pada sistem pemangkuan kawasan hutan, serta dukungan perbaikan institusi, personil dan aspek legal harus dibenahi terlebih dahulu. Apabila tidak dilakukan, program apapun yang di tetapkan hanya membuahkan hasil yang tidak pernah memberikan makna sesungguhnya. Sumberdaya hutan tetap akan meningkat kerusakanya.
Hubungan volume yang besar dengan sistem kerja merupakan suatu tindakan dimana manajemen bekerja lebih efektif dan lebih baik, yang mana sebaiknya pabrik yang digunakan cukup hanya 100 ton batang pohon saja yang muat, dimana agar batang pohon berikutnya ataupun dan untuk hari berikutnya dapat terserdia, alias tidak ada pemborosan.
Secara ringkas dapat disajikan pada bagian di bawah ini.
1.Periode pengolahan hasil hutan yang lama
2.Volume yang besar
3.Nilai ekonomi yang lebih kecil
4.Produk, dimana Bulkiness besar dan Persability tinggi
Terkait dengan faktor-faktor eksternal, mengakibatkan ekonomi eksternal mekanisme pasar disebut eksternalitas, dibagi dua yaitu pevoondary (dapat mempengaruhi pasar) Hal ini dapat saling mempengaruhi satu sama lain yang disebabkan oleh faktor-faktor:lingkungan dan perkonomian non-pevoondary (tidak mempengaruhi pasar).Hal ini dapat saling mempengaruhi satu sama lain yang disebabkan oleh faktor-faktor:. Lingkungan, isu atau trend, dan kebijakan

G. Ekonomi Produksi
Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi dimanfaatkan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi optimal. Misalnya tumbuhan dibawah tegakan hutan..
pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi adalah sebagai bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pemanfaatan hasil hutan pada hutan produksi dapat berupa hutan tanaman sejenis dan atau hutan tanaman berbagai jenis.
Usaha pemanfaatan hutan tanaman diutamakan pada lahan yang dianggap tidak produktif dalam rangka mempertahankan hutan alam. Tanaman yang dihasilkan dari pemanfaatan hasil hutan merupakan aset yang dijadikan sebagai agunan.(Horas, 2008)
Dengan berjalannya HTI, banyak pihak yang pro dan kontra dan sebagian besar menganggap bahwa HTI memunculkan suatu dampak yang serius bagi bidang kehutanan. Sebab, HTI umumnya dikelola dengan satu jenis tanaman, yang riskan terhadap serangan hama penyakit. Sedangkan HTI juga tidak mengusahakan tanaman tumbuhan bawah, sehingga erosi justru akan timbul yang dapat menghilangkan lapisan tanah atas yang banyak mengandung bahan organik tinggi. Sebenarnya, HTI dikembangkan secara khusus pada kawasan lahan kosong, padang alang-alang, semak belukar, dan lahan-lahan kritis non produktif (Arief, 2006).
Kecendrungan penurunan potensi dan regenerasi hutan di areal bekas tebangan serta semakin meningkatnya kebutuhan kayu maka sistem pengelolaan secara tebang pilih sebagian dialihkan pada tebang habis untuk ditanam dengan jenis cepat tumbuh, sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI).
Diantara dampak pengelolaan hutan produksi, saat konstruksi pembukaan wilayah sudah 8,4% dari hutan hilang dan penebangan sejumlah 18 pohon/ha atau 3,3% tegakan dapat mengakibatkan kerusakan hutan 49,1%. Dampak lain dari pengelolaan hutan dengan sisitem tebang pilih adalah mempercepat laju erosi dan penurunan populasi satwaliar.
Pengaruh penebangan hutan terhadap satwa diantaranya disebabkan kebisingan, berkurangnya jenis-jenis pohon pakan, perubahan aktivitas harian akibat pemutusan jalur untuk pergerakan arboreal, peningkatan frekuensi pemangsaan oleh predator, dan parasit yang dapat meningkatkan angka kematian serta rendahnya laju reproduksi, pengurangan waktu mencari makan dan penurunan kualitas pakan yang terjadi pada primata dan burung.(Wahyudiisman, 2008).

H. Ekonomi Konsumsi
Pengelolaan hutan selalu ditujukan untuk mendapatkan manfaat optimum.
Memahami manfaat hutan, mengandung arti harus dilakukannya penilaian terhadap semua jenis manfaat yang dapat dihasilkan oleh hutan tersebut, baik yang bersifat manfaat nyata (tangible) maupun tidak nyata (intangible).
Ekosistem hutan memiliki banyak unsur dengan hubungan yang komplek, sehingga di dalam kerangka penilaian hutan dibuat suatu klasifikasi sumber manfaat menurut pendekatan ekosistem yang terdiri atas empat kelas, yaitu (1) flora, (2) fauna, (3) fungsi ekosistem, dan (4) sosial budaya. Manfaat yang bersumber dari empat hal tersebut dapat berwujud (a) barang hasil hutan, (b) jasa dan fungsi ekologis, dan (c) simbolik atau atribut.
Sedangkan tata nilai hutan mengacu kepada perkembangan mutakhir saat kini,
yang disusun menurut klasifikasi jenis nilai sebagai berikut:
a. Nilai guna (use value) yang terdiri atas:
- Nilai guna langsung
- Nilai guna tidak langsung
b. Nilai pilihan masa akan datang (option value)
c. Nilai keberadaan (existence value)
Jenis manfaat penggunaan langsung dikelompokkan atas (1) bahan baku industri, (2) bahan bangunan, (3) sumber energi, (4) pangan (makanan), (5) obat,
(6) hiasan dan peliharaan, air (7) air konsumsi rumah tangga. Khusus untuk HutanTanaman Industri (HTI), penilaian dilakukan terhadap tegakan pohon sebagai bahan baku industri.
Nilai tegakan sangat berguna dan diperlukan dalam pengusahaan hutan sebagai suatu kegiatan ekonomi yang ditetapkan melalui proses penetapan yang disebut penilaian hutan forest appraisal (Onrizal dan Nurdin, 2002).
Hutan beserta hasilnya merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Berdasarkan bentuk/wujudnya, manfaat hutan dapat dibedakan menjadi dua yaitu : manfaat tangible (langsung/nyata) dan manfaat intangible (tidak langsung/tidak nyata).
Manfaat tangible antara lain: kayu, hasil hutan ikutan dan lain-lain. Sedangka manfaat intangible antara lain: pengaturan tata air, rekreasi, pendidikan,
kenyamanan lingkungan, dan lain-lain. Berdasarkan kemampuan untuk dipasarkan, manfaat hutan juga dapat dibedakan menjadi dua yaitu: manfaat marketable dan manfaat non-marketable. Manfaat hutan non-marketable adalah barang dan jasa hasil hutan yang belum dikenal nilainya atau belum ada pasarnya seperti : beberapa jenis kayu lokal, kayu energi, binatang, dan seluruh manfaat intangible.
Pemanfaatan hutan yang selama ini cenderung mengeksploitasi hasil hutan kayu (manfaat tangible) ternyata membawa implikasi ekologi terhadap tingginya tingkat deforestrasi. Hasil yang paling -berpengaruh mengungkapkan bahwa telah terjadi penggunaan hutan di Indonesia sebesar 1 juta hektar pertahun. Di samping itu, nilai ekonomi yang diberikan ternyata kurang memberikan keuntungan yang optimal.
Kegiatan bisnis sektor kehutanan yang secara ekonomis aktual tidak lagi menguntungkan tersebut menuntut kita untuk melakukan reorientasi bisnis kehutanan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya hutan yang ada dengan teknik dan manajemen lahan yang optimal, produktif dan kompetitf. (Affandi dan Pindi, 2004).
Berdasarkan jenisnya hasil hutan dapat dibedakan menjadi 3 jenis yaitu hasil hutan kayu, non kayu dan jasa lingkungan. Hasil hutan kayu merupakan kekayaan hutan yang terdapat di alam yang mencakup semua bentuk hasil hutan yang meliputi kayu, begitu juga sebaliknya hasil hutan non kayu merupakan kekayaan alam yang terdapat di hutan baik flora maupun fauna yang tidak termasuk kayu. Sedangkan jasa merupakan hasil hutan yang tidak dapat dinilai harganya, seperti air dan estetik.
Pola konsumsi hasil hutan dipengaruhi oleh adanya beberapa faktor. Faktor tersebut terurai seperti dibawah ini.
1.Pendapatan
Pendapatan mempengaruhi nilai konsumsi suatu produk kehutanan yang sifatnya positif, artinya semakin tinggi pendapatan seseorang maka semakin tinggi pulalah permintaan akan produk tersebut.
2.Isu lingkungan
Isu lingkungan cenderumng bersifat negatif.
3.Teknologi
Teknologi merupakan suatu prosedur atau cara mengolah suatu produk agar memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibanding sebelumnya. Sifat dari faktor ini adalah positif.
4.Tingkat pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka makin besar jugalah peluang konsumsi kayu, artinya setiap orang yang berpendidikan akan menjadikan barang dari alam sebagai nilai kemajuan suatu zaman. Faktor ini sifatnya positif.
5.Trend atau mode
Semakin seseorang memiliki tingkat gengsi yang tinggi maka tingkat kebutuhan akan barang langka juga tinggi. Hal ini cenderung menunjukan sifat yang negatif.
6.Ketersediaan
Ketersediaan dapat bersifat positif dan negatif.
7.Komplementer
Komplementer sifatnya cenderung positif.
8.Substitusi
Berbeda halnya dengan barang komplementer yang sifatnya negatif, barang substitusi justru sebaliknya bersifat negatif.


I. Pemanenan Hasil Hutan Kayu
Pemanenan kayu merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon dan biomass lainnya menjadi bentuk yang dapat dipindahkan ke lokasi lain sehingga bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat.
Proses pemanenan kayu terdiri dari beberapa kegiatan yang masing-masing merupakan satu tahap dalam proses produksi. Adapun unsur-unsur dasarnya adalah :
1.Operasi tunggak (stump operation), yaitu penebangan pohon dan pembentukan permulaan dari log.
2.Penyaradan, yaitu memindahkan batang kayu secara keseluruhan atau berupa log dari tempat penebangan ke tempat pengumpulan (loading). Pada umumnya jarak yang ditempuh hanya beberapa ratus meter.
3.Pemuatan (loading), yaitu menaikkan kayu ke atas alat angkut. Kegiatan memuat dilakukan di landing.
4.Angkutan utama, yaitu pengangkutan dari landing ke tempat tujuan.P
5.Pembongkaran, yaitu membongkar muatan di tempat tujuan.
Selama pengangkutan log dari lokasi tegakan ke landing (Tpn), peralatan yang umum digunakan di hutan alam tropis indonesia adalah traktor crawler, seperti Cat. D7G dan Komatsu D 85 E-SS. Traktor crawler ini dapat bekerja di kemiringan yang tajam. Traktor ini dilengkapi dengan I buah robust dozerblade dan 1 buah winch.
Tim penyaradan terdiri dari 1 orang operator dan 1 orang helper, dimana operasi dilakukan selama 6-7 jam/hari. Setiap tim dapat menghasilkan sekitar 17 sampai 29 m3 log per jam dengan jarak penyaradan rata-rata 300 – 400
Pengangkutan kayu pada umumnya dilakukan dengan truk pengangkut atau lokotraksi melalui jalan rel dan rakit. Truk trailer merupakan modus pengangkutan yang paling umum digunakan di dalam kegiatan pengnangkutan kayu di hutan alam tropis Indonesia. Penggunaan katerpilar maupun komatsu tergantung pada jarak, kemampuan membeli dan topografi lahan (Anonimous, 2008)..



DAFTAR PUSTAKA

Affandi. O. dan Pindi P. 2004. Perhitungan Nilai Ekonomi Pemanfaatannya Hasil Hutan Non Kayu Marketable oleh Masyarakat Desa Sekitar Hutan (Studi Kasus Cagar Alam Dolok Sibual- Buali Kecamatan Sipirok Tapanuli Selatan). Universitas Sumatera Utara Press. Medan.
Anonimous. 2008. e-course.usu.ac.id/content
/kehutanan/pemanenan/textbook.pdf
Anonimous. 2008.www.dishut.jabarprov.go.id/data/arsip
Arief, A. 2006. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Teori dan Aplikasinya.Gramedia Pustaka Utama. Bogor.
Horas, N dan Thombang. 2004. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan. Erlangga. Jakarta.
Onrizal dan Nurdin S. 2002. Metodelogi Penilaian Tegakan Hutan Tanaman Industri. Universitas Sumatera Utara Press. Medan.
Wahyudiisnan. 2008. Resouches over Consumption Impact


Tidak ada komentar:

Posting Komentar