PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan teknologi sudah demikian maju sehingga segala kelemahan bambu sudah dapat direkayasa dan diatasi mulai dari konstruksi, sambungan dengan berbagai jenis konektor serta bentuk, yang memungkinkan bambu dipakai pada panjang efektif sesuai dengan desain yang diinginkan tetapi memenuhi persyaratan teknis. Keterbatasan bambu untuk dipakai pada bangunan-bangunan khusus yang mempunyai tingkat kesulitan tinggi sudah dapat diatasi bahkan di beberapa negara maju, bambu sudah dipakai sebagai bahan untuk bangunan penting seperti villa, tribun stadion, kantor bertingkat, jembatan dengan bentang lebar ( Purwito, 2008 ).
Kurang lebih 1.000 species bambu dalam 80 genera, sekitar 200 species dari 20 genera ditemukan di Asia Tenggara (Dransfield & Widjaja, 1995), sedangkan di Indonesia ditemukan sekitar 60 jenis.
Beberapa kelebihan bambu jika dipergunakan untuk komponen bangunan:
1. Merupakan bahan yang dapat diperbarui (3-5 tahun sudah dapat ditebang),
2. Murah harganya serta mudah pengerjaannya karena tidak memerlukan tenaga terdidik, cukup dengan peralatan sederhana pada kegiatan pembangunan.
3. Mempunyai kekuatan tarik yang tinggi (beberapa jenis bambu melampaui kuat tarik baja mutu sedang), ringan, berbentuk pipa beruas sehingga cukup lentur untuk dimanfaatkan sebagai komponen bangunan rangka,
4. Rumah dari bambu cukup nyaman ditempati,
5. Masa konstruksi cukup singkat sehingga biaya konstruksi menjadi murah.
Kelemahannya adalah dalam penggunaannya kadang-kadang menemui beberapaketerbatasan. Sebagai bahan bangunan, faktor yang sangat mempengaruhi bambuadalah, sifat fisik bambu (bulat) yang agak menyulitkan dalam pengerjaannya secaramekanis, variasi dimensi dan panjang ruas yang tidak seragam serta mudah diserangoleh organisme perusak seperti bubuk, rayap dan jamur.
Penyambungan atau perangkaian pada bambu utuh biasanya dilakukan secara konvensional memakai paku dan pasak yang menyebabkan serat yang sejajar dengan kekuatan geser yang rendah menjadikan bambu mudah pecah, sedangkan dengan tali ataupun ijuk kekuatan sambungan hanya didasarkan pada kekuatan gesek antara tali dan ijuk dengan bambu atau antara bambu satu dengan bambu yang lainnya (Morisco, 1999: 6-7).
Bambu lamina adalah produk olahan bambu dengan cara merekatkan potongan-potongan dalam panjang tertentu menjadi beberapa lapis yang selanjutnya dijadikan papan atau bentuk tiang. Lapisannya umumnya 2-5 lapis. Banyaknya lapisan tergantung ketebalan yang diinginkan dan penggunaannya. Kualitas bambu lamina ini sangat ditentukan oleh bahan perekatnya. Dengan bahan perekat yang baik maka kekuatan bambu lamina dapat disejajarkan dengan kekuatan kayu kelas III.
Keuntungan adanya standar bambu menurut Purwito, 2008 adalah sebagai berikut:
a. Merangsang para perencana bangunan untuk menggunakan bambu karena,
mereka menjadi mengetahui sistem/cara penggunaannya sehingga mendukung
desain bangunannya.
b. Dapat digunakan sebagai dasar dalam menentukan kualitas konstruksi bambu
yang dalam kontrak pekerjaannya menggunakan bambu sebagai bahannya.
c. Dapat menjaga kualitas produk (quality control).
d. Menaikan nilai tambah bambu karena dapat disejajarkan dengan bahan lain yang sejenis.
Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui kemampuan bambu untuk dibasahi oleh suatu cairan.
TINJAUAN PUSTAKA
Di Indonesia, produk bambu lapis telah dibuat sejak tahun 1976, tetapi bentuknya tidak datar karena dalam pengempaannya menggunakan cetakan. Bambu lapis tersebut digunakan untuk bahan pembuatan baki. Bambu yang digunakan disayat secara manual dengan ketebalan vinir bambu 0.3 mm dan lebar 5 mm. Vinir bambu selanjutnya dianyam baik dikombinasi dengan vinir kayu atau tidak. Hasil anyaman tersebut kemudian dikeringkan dan digunakan sebagai bahan bambu lapis (4 lapis) dengan menggunakan perekat melamin urea formaldehida (Soedjono & Hartanto,1994).
Kolom bambu terdiri atas sekitar 50 % parenkim, 40 % serat da 10 % sel penghubung ( pembuluh dan sieve tubes). Parenkim dan sel penghubung lebih banyak ditemukan pada bagian dalam kolom, sedangkan serat lebih banyak ditemukan di bagian luar sedangkan susunan serat pada ruas penghubung antar buku memiliki kecenderungan bertambah besar dari bawah ke atas sementara parenkimnya berakurang (Widjaja,1995).
A Gambar 1. Bambu Tali
Bambu Tali
Taksonomi Bambu Tali sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Ordo : Liliales
Famili : Liliaceae (suku bawang-bawangan
Genus : Asparagus
Spesies : Asparagus cochinchinensis (Lour.) Merr
Bambu tali disebut Asparagus cochinchinensis. termasuk ke dalam famili tumbuhanLiliaceae. .Tumbuhan ini memiliki berbagai kandungan kimia, yang sudah diketahui, contohnya Saponin; aglycone, protosarsapogenin.
Senyawa lain; Asparagine, glukose, fruktose, 5-methoxy, methylfurfural, beta-sitosterol.
B Gambar 2. Bambu Hitam
Taksonomi bambu hitam sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Poales
Famili : Poaceae
Genus : Gigantochloa
Spesies : Gigantochloa atroviolacea Widjaja
Bambu telah digunakan selama berabad-abad dalam pengobatan Ayurvedic dan obat-obatan herbal Cina. Tabasheer, bubuk dalam tabung bambu, digunakan secara internal untuk merawat asma, batuk dan dapat digunakan sebagai zat perangsang nafsu berahi. Di Cina, bahan dari akar bambu hitam membantu mengobati penyakit ginjal (bambu hitam ini susah dicari lho disini). Akar dan daunnya juga dapat digunakan untuk mengobati penyakit kelamin dan kanker. Getahnya digunakan untuk mengurangi demam, dan abu/arangnya akan menyembuhkan biang keringat (Attayaya. 2009)
B Gambar 3. Bambu Betung
Taksonomi bambu betung sebagai berikut :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil
Sub Kelas : Commelinidae
Ordo : Poales
Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus : Dendrocalamus
Spesies : Dendrocalamus asper Backer
Bambu betung (Dendrocalamus asper) adalah salah satu jenis yang mempunyai nilai potensi ekonomi. Tanaman ini dapat dijumpai tumbuh mulai dari daerah dataran rendah hingga dataran tinggi (2000 meter), dan akan tumbuh lebih baik bila ditanam di tanah subur pada lahan basah (Soedjono & Hartanto,1994).
Isosianat
Isosianat adalah perekat yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi daripada perekat lainnya. Isosianat bereaksi bukan hanya dengan aquarous tetapi juga dengan kayu yang menghasilkan ikatan kimia yang kuat sekali (chemical bonding). Isosianat juga memiliki gugus kimia yang sangat reaktif, yaitu R-N=C=O. Keunikan perekat isosianat adalah dapat digunakan pada variasi suhu yang luas, tahan air, panas, cepat kering, Ph netral dan kedap terhadap solvent (pelarut organik). Perekat ini juga memiliki daya guna yang luas untuk merekatkan berbagai macam kayu ke kayu (Widjaja,1995)
Air
Air adalah unsur alami semua bagian suatu pohon yang hidup. Dalam bagian xilem, air (lengas) umumnya berjumlah lebih dari separuh berat total artinya, berat air dalam kayu segar umumnya sama atau lebih besar daripada berat bahan kayu kering. Sejumlah air akan segera hilang apabila pohon mati atau suatu kayu glondongan diolah menjadi kayu gergajian, finir atau serpih kayu. Keadaan yang demikian bila berlangsung cukup lama, akan mempengaruhi dimensi dan sifat sifat kayu tersebut (Soedjono & Hartanto,1994).
Larutan NaOH
NaOH (Natrium Hidroksida) berwarna putih atau praktis putih, massa melebur, berbentuk pellet, serpihan atau batang atau bentuk lain. Sangat basa, keras, rapuh dan menunjukkan pecahan hablur. Bila dibiarkan di udara akan cepat menyerap karbondioksida dan lembab. Kelarutan mudah larut dalam air dan dalam etanol tetapi tidak larut dalam eter. Titik leleh 318°C serta titik didih 1390°C. Hidratnya mengandung 7; 5; 3,5; 3; 2 dan 1 molekul air. NaOH membentuk basa kuat bila dilarutkan dalam air, NaOH murni merupakan padatan berwarna putih, densitas NaOH adalah 2,1 . Senyawa ini sangat mudah terionisasi membentuk ion natrium dan hidroksida (Tanti, 2009).
Wetabilitas
Ukuran kemampuan kayu untuk dibasahi oleh suatu cairan (termasuk oleh perekat). Wetabilitas merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan mutu rekatan yang terjadi. Semakin mudah kayu dibasahi maka semakin mudah perekat mengadakan pembasahan dan menyebar keseluruh permukaan kayu. Namun bila terlalu mudah dibasahi mutu rekatan terjadi berkurang karena garis rekat yang terbentuk akan terlalu tipis, disamping bias mengakibatkan tidak meratanya perekat di atas permukaan kayu (Ruhendi, dkk. 1997).
Untuk memungkinkan terjadinya ikatan antara perekat dan perekat permukaan sirekat, perekat harus diaplikasikan lebih dalam bentuk cairan. Ukuran keterbasahan suatu permukaan adalah sudut kontak yang terbentuk antara cairan yang jatuh dalam permukaan yang datar dan halus (Ruhendi, 1997).
Keterbasahan kayu didapat dengan mengukur sudut kontak antara garis rekat cair dengan permukaan kayu adalah grafik cosinus antara kontak cairan dengan tegangan permukaan cairan untuk memperoleh tegangan permukaan setara dengan sudut kontak nol (cos θ = 1). Tegangan kritis permukaan terjadi pada saat sudut kontak dengan nilai nol menandakan tegangan permukaan bawah menyebar (Ruhendi, dkk, 1997).
METODE PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat
Praktikum yang berjudul Wettabilitas ini dilaksanakan pada hari Jumat, 30 Oktober 2009, pada pukul 14.00-16.00 Wib, di laboraturium Teknologi Hasil Hutan, Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
Bahan dan Alat
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
Bambu Tali dengan ukuran 15 cm x 3 cm
Bambu Betung dengan ukuran 15 cm x 3 cm
Bambu Hitam dengan ukuran 15 cm x 3 cm
NaOH 10 mg dilarutkan dalam 100 ml air
Isosianat
Aquadest
Adapun alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah :
Pipet Tetes berfungsi untuk meneteskan cairan ke permukaan kayu.
Kertas Pasir berfungsi untuk mengaluskan permukaan bambu.
Kamera Digital berfungsi untuk memotret cairan.
Busur berfungsi untuk mengukur sudut yang dibentuk antara permukaan dengan perekat.
Alat tulis dan kalkulator berfungsi untuk mendukung pengolahan data.
Prosedur
Metode Sutrisno
Teteskan larutan perekat sebanyak 1 tetes (± 0,05 ml) kepermukaan strain.
Setelah perekat ditetesi dengan permukaan strain lalu dipotret setelah 30 detik.
Penentuan sudut kontak dilakukan 3x ulangan untuk 3 jenis kayu dan hasil di rata-rata.
Metode Ruhendi
Teteskan 0,05 ml larutan NaoH ke atas permukaan halus adheren dengan pipet tetes.
Ukur sudut kontak yang di bentuk oleh garis lengkung cairan dengan permukaan adheren.
Pengukuran sudut kontak dilakukan dengan mengukur besarnya sudut kontak yang diamati melalui hasil pemotretan kamera.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Adapun hasil dari praktikum yang berjudul Wettabilitas adalah:
Resin/ Perekat | Ulangan | Sudut Luar(0) | ||
Bambu Betung | Bambu Tali | Bambu Hitam | ||
NaOH | 1
2
3
Rata-rata Nilai cos | 120 129 112 120 115 120 119,33 0,49 | 145 160 180 180 180 160 170,83 0,99 | 100 110 115 114 109 110 109,67 0,96 |
Isosianat | 1
2
3
Rata-rata Nilai cos | 145 110 100 105 105 107 112 0,46 | 100 106 125 116 106 109 110,83 0,64 | 90 90 105 117 103 104 101,5 0,57 |
Aquades | 1
2
3
Rata-rata Nilai cos | 106 110 95 105 125 131 112 0,46 | 165 167 145 160 180 180 166,17 0,94 | 93 91 105 103 110 118 103,3 0,94 |
Pembahasan
Ketika sudut kontak antara perekat dan substrat lebih tinggi dari 900 dari sudut luar maka keberhasilan suatu cairan membasahi suatu padatan semakin baik. Berdasarkan data tersebut diatas maka bambu tali memiliki kemampuan wetabilitas yang baik dibanding dengan bambu hitam dan bambu betung disetiap perlakuan kecuali pada isosianat. Hal ini sesuai dengan literatur Ruhendi, dkk (2007) yang menyatakan bahwa Semakin mudah kayu dibasahi maka semakin mudah perekat mengadakan pembasahan dan menyebar keseluruh permukaan kayu. Namun bila terlalu mudah dibasahi mutu rekatan terjadi berkurang karena garis rekat yang terbentuk akan terlalu tipis, disamping bias mengakibatkan tidak meratanya perekat di atas permukaan kayu.
Isosianat memiliki kemampuan wetabilitas yang buruk. Hal ini ditandai dengan kemampuan perekat isosianat yang sulit menembus permukaan dan membentuk sudut kontak yang luar yang terkecil atau sudut kontak dalam yang terbesar. Hal ini disebabkan isosianat memiliki kekentalan yang tinggi disbanding dengan larutan lain yang digunakan sebagai perekat. Berbeda halnya dengan NaOH dan air yang memiliki kemampuan tembus permukaan yang relatif baik. Hal ini disebabkan karena kekentalan cairan yang encer atau berupa larutan cair.
Faktor-fator yang mempengaruhi wetabilitas adalah kehalusan permukaan bambu, kekentalan (viscositas) perekat, kandungan bahan dalam bambu, kerapatan dan berat jenis perekat dan Ph perekat dan bambu.
Bambu Tali memiliki kemampuan untuk dibasahi suatu perekat yang lebih baik, hal ini disebabkan pori pada bambu tali lebih rapat sehingga lebih cepat menyebar ke permukaan. Kedua adalah arah serat yang sejajar lebih memungkinkan kecepatan perekat menyebar secara merata dan sempurna. Lain halnya dengan bambu betung yang memiliki nilai cos di setiap perlakuan dibawah 0,50 hal ini berarti energi kayu untuk menyerap perekat rendah, ini terjadi karena pori yang jarang dengan kerapatan tinggi dan arah serat yang tidak sejajar sempurna sehingga penyebaran perekat yang tidak serata dan kandungan kimia yang terdapat didalamnya. Hal ini sesuai dengan literature Soedjono & Hartanto (1994) yang menyatakan bahwa Tumbuhan ini memiliki berbagai kandungan kimia, yang sudah diketahui, contohnya Saponin; aglycone, protosarsapogenin.
Senyawa lain; Asparagine, glukose, fruktose, 5-methoxy, methylfurfural, beta-sitosterol.
Bambu betung memiliki kemampuan untuk dibasahi suatu perekat yang buruk. Hal ini disebabkan keadaan permukaan bambu betung yang relative kasar. Hal ini dapat dibuktikan dari gambar 3 yang menunjukan relief permukaan bambu ini Nampak kasar.
Nilai cos dari bambu tali dengan perlakuan NaOH adalah nilai tertinggi dengan angka mendekati 1 yaitu 0.99. Hal ini menunjukan tegangan kritis bawah permukaan menyebar dan membasahi adheren secara spontan , maka dapat dikatakan bahwa energi permukaan kayu yang semakain tinggi memiliki kemampuan untuk mengikat. Cara memperkirakan energi permukaan kayu adalah grafik cosinus antara sudut kontak cairan dengan tegangan permukaan. Hal ini sesuai dengan literature Ruhendi, dkk (2007) yang menyatakan bahwa Keterbasahan kayu didapat dengan mengukur sudut kontak antara garis rekat cair dengan permukaan kayu adalah grafik cosinus antara kontak cairan dengan tegangan permukaan cairan untuk memperoleh tegangan permukaan setara dengan sudut kontak nol (cos θ = 1).
Bambu dapat menggantikan kayu dengan cara lain yang ditempuh yaitu sambungan pada bambu utuh dengan mengunakan bahan pengisi pada rongga bambu disekitar sambungan. Sebagai bahan pengisi digunakan mortal semen dan kayu dengan pelat buhul dari baja sebagai penghubung yang bertujuan agar bambu tidak mudah pecah. Cara ini telah dilakukan oleh Morisco dan Marjono pada penelitiannya, sedangkan pada penelitian ini penyambungan memakai perekat dengan memvariasikan posisi sambungan pada balok bambu laminasi horizontal. Hal ini sesuai dengan literature Morisco (1999) yang menyatakan bahwa Penyambungan atau perangkaian pada bambu utuh biasanya dilakukan secara konvensional memakai paku dan pasak yang menyebabkan serat yang sejajar dengan kekuatan geser yang rendah menjadikan bambu mudah pecah, sedangkan dengan tali ataupun ijuk kekuatan sambungan hanya didasarkan pada kekuatan gesek antara tali dan ijuk dengan bambu atau antara bambu satu dengan bambu yang lainnya (Morisco, 1999: 6-7).
Masuknya cairan ke permukaan kayu dipengaruhi oleh kasar atau tidak permukaan bambu, dengan kasarnya bambu maka rongga akan terbuka dan memudahkan cairan untuk masuk. Hal ini sesuai dengan teori adhesi mekanikal (mechanical theory of adhesion) berhubungan dengan perekatan pada permukaan yang kasar dan berrongga. Perekatan tersebut efektif karena energi permukaan yang dimiliki akan meningkatkan ikatan perekatan. Pada saat ditekan, permukaan yang kasar akan mendistribusikan kembali stress, seiring dengan hilangnya energi permukaan, maka akan terjadi kegagalan perekatan.
Permukaan bambu perlu memiliki kekasaran tertentu untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan perekatan melalui mechanical interlock. Selain pre-treatment pada permukaan, hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan perekatan melalui mechanical interlock, adalah memperluas bidang rekat, meningkatkan wetting kinetics, dan meningkatkan plastisitas perekat (kesesuaian rheologi perekat)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari praktikum ini adalah
Untuk menghemat pemakaian perekat, maka bambu harus dihaluskan terlebih dahulu.
NaOH adalah suatu cairan yang cepat menyebar atau membasahi permukaan bambu.
Bambu tali memiliki nilai cos tertinggi yang menandai energy bambu untuk menyerap permukaan baik.
Semakin tinggi nilai sudut luar atau semakin rendah nilai sudut dalam maka semakin baik perekat melakukan penetrasi.
Isosianat adalah perekat yang paling lambat membasahi permukaan. Hal ini disebabkan viskositas isosianat terlalu tinggi.
Saran
Diharapkan pada praktikan harus lebih teliti dalam mengamati dan memotret tiap tetesan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar